Bacaini.id, BLITAR – Seorang santri berinisial MA (14) asal Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar Jawa Timur meninggal dunia setelah diduga mengalami pengeroyokan di lingkungan pondok pesantren tempatnya belajar.
Aksi penganiayaan yang berlangsung ramai-ramai itu dipicu adanya uang santri lain yang hilang. Sebelum meninggal dunia, MA yang babak belur dan dilarikan ke rumah sakit, sempat mengalami koma selama 5 hari.
Anggota DPRD Kabupaten Blitar Hendik Budi Yuantoro meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus kekerasan yang kembali terjadi di kalangan remaja Blitar ini.
“Kami meminta APH mengusut tuntas kasus kematian remaja santri yang diduga menjadi korban kekerasan itu,” ujar Hendik Budi Yuantoro dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Senin (8/1/2024).
MA meninggal dunia pada Minggu malam (7/1/2024), setelah sebelumnya koma selama 5 hari. Kasus dugaan penganiayaan berujung kematian itu terjadi di lingkungan Ponpes di wilayah Kelurahan Kalipang Kecamatan Sutojayan.
Aksi pengeroyokan santri MA terjadi pada Selasa malam (2/1/2024) sekitar pukul 23.00 WIB. Saat ini aparat kepolisian tengah melakukan penyelidikan. Terungkap, aksi pengeroyokan dipicu hilangnya uang di lingkungan pesantren dengan korban MA sebagai tertuduh.
Persoalan itu (uang hilang) diketahui pernah mencuat pada bulan Desember 2023, namun berhasil didamaikan. Entah apa yang terjadi persoalan kembali mencuat dan berakhir dengan pengeroyokan.
Santri MA yang dalam keadaan babak belur dan tidak sadarkan diri langsung dilarikan di RS Aulia, namun lantaran kondisinya yang parah, yang bersangkutan dirujuk ke RSUD Ngudi Waluyo Wlingi Blitar.
Terungkap juga, pihak keluarga baru mengetahui hal itu pada Rabu (3/1/2024). Mereka menyaksikan santri MA sudah dalam keadaan koma. Setelah menjalani perawatan intensif selama 5 hari, pada Minggu (7/1/2024) santri MA menghembuskan nafas terakhirnya.
Menurut Hendik, pihak kepolisian diharap berani mengusut kasus dugaan kekerasan itu secara adil dan transparan. Ia tidak berharap lantaran terjadi di lingkungan pesantren, kasus kemudian ditutupi.
Siapapun yang terlibat, kata Hendik harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sebab kasus kekerasan di lingkungan berbasis agama bukan pertama kali terjadi di Kabupaten Blitar.
Sebelumnya kasus kekerasan siswa yang berujung kematian pernah terjadi di lingkungan sekolah Mtsn 01 Blitar atau Mtsn Kunir Kecamatan Wonodadi Kabupaten Blitar.
Kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa siswa madrasah itu terjadi pada saat jam belajar mengajar, dan ironisnya pihak Mtsn Kunir sempat menutup-nutupi peristiwa yang terjadi.
Kasus ditutup dengan menghukum pelaku tanpa menjatuhkan sanksi kepada pihak Mtsn Kunir, yakni guru dan pimpinan madrasah yang terbukti lalai sehingga mengakibatkan terjadinya kekerasan berujung kematian.
“Kami tidak berharap ada pihak yang menutup-nutupi. Siapapun yang terbukti bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatanya. Dan polisi harus berani transparan,” tegas Hendik.
Kasatreskrim Polres Blitar AKP Febby Pahlevi Rizal mengatakan pihaknya masih melakukan pengusutan dugaan pengeroyokan yang berakibat meninggalnya santri MA.
Dalam penyelidikan itu polisi telah meminta keterangan 21 saksi. “Kasus masih dalam penyelidikan,” ujarnya singkat kepada wartawan.
17 Santri Ditetapkan Tersangka
Polres Blitar langsung bergerak cepat melakukan pengusutan. Dari hasil penyelidikan, termasuk meminta keterangan saksi, polisi akhirnya menetapkan 17 santri sebagai tersangka penganiayaan yang berakibat kematian.
“17 anak ditetapkan tersangka terkait kejadian pengeroyokan,” ujar Kasatreskrim Polres Blitar AKP Febby Pahlevi Rizal kepada wartawan.
Dalam penyelidikan terungkap aksi kekerasan terjadi di salah satu ruangan ponpes. Peristiwa terjadi pada saat santri sudah tidak berkegiatan. Pengeroyokan oleh para tersangka diduga lantaran korban dituduh mencuri uang.
Tidak hanya dengan tangan kosong. Hasil penyelidikan diketahui korban juga dianiaya dengan kabel setrika, gagang kayu dan sapu. Adanya kekerasan dengan benda tumpul itu dikuatkan dengan hasil visum medis.
Menurut Febby Pahlevi, meski 17 santri sudah ditetapkan tersangka, polisi tidak memberlakukan penahanan, tapi hanya wajib lapor dua kali seminggu. Sebab mereka rata-rata masih berusia 14-15 tahun dan berstatus pelajar.
Selain itu para orang tua tersangka telah memberi jaminan putra mereka tidak akan kabur dan mengulangi perbuatannya. “Tidak dilakukan penahanan, hanya wajib lapor dua kali seminggu,” ujarnya.
Dalam kasus kekerasan berujung kematian ini, para tersangka terancam dijerat UU No 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
Penulis: Solichan Arif