Bacaini.ID. Bayangkan sebuah langit yang dipenuhi kilatan logam supersonik dan sinyal elektronik tak kasat mata. Itulah realita terbaru di kawasan Timur Tengah: perang terbuka antara Iran dan Israel bukan hanya soal serangan rudal dan balasan udara, melainkan pertarungan kecanggihan antara teknologi balistik dan sistem pertahanan berbasis algoritma.
Pada Juni 2025, dunia menyaksikan babak baru konflik bersenjata. Iran meluncurkan ratusan rudal balistik dalam Operasi Hukuman Berat, sementara Israel merespons dengan Operasi Singa Bangkit. Nama operasinya terdengar seperti judul film era 80-an, namun aksi di baliknya sarat teknologi generasi terbaru—rudal hipersonik, sistem radar otomatis, dan kecerdasan buatan.
Iran merakit sistem persenjataannya dengan pendekatan yang presisi, menggabungkan teknologi lama dan baru. Rudal propelan cair seperti Ghadr dan Khorramshahr dirancang untuk daya dorong maksimal, sementara rudal propelan padat menawarkan kecepatan reaksi dan penyamaran lebih baik.
Inovasi mencolok tampak pada rudal Kheibar Shekan dan Fattah. Dengan reentry vehicle yang bisa bermanuver dan navigasi satelit, rudal ini tak hanya cepat tapi juga licin—seolah peluru yang mampu berbelok di udara. Varian Fattah bahkan diklaim mampu meluncur di lintasan hipersonik non-balistik, menjadikannya nyaris mustahil dideteksi oleh radar konvensional.
Perjalanan dari Iran ke Israel hanya butuh sekitar 12 menit—waktu yang sama untuk merebus telur, tapi cukup untuk mengubah nasib ribuan jiwa.
Di sisi lain, Israel membangun “benteng digital” dengan sistem pertahanan berlapis: Iron Dome untuk ancaman jarak dekat, David’s Sling untuk menengah, dan Arrow 2/3 untuk rudal balistik jarak jauh.
Iron Dome menggunakan radar EL/M-2084 dan rudal Tamir yang efisien serta ekonomis ($40.000 per rudal). David’s Sling dilengkapi sensor elektro-optik dan radar, memberikan akurasi ganda. Sementara Arrow 3, sang pelindung dari luar angkasa, mampu menghancurkan hulu ledak musuh di eksosfer—wilayah antara atmosfer dan ruang angkasa.
Beberapa rudal Iran berhasil lolos. Klaim muncul bahwa Iran menggunakan teknik manipulasi elektromagnetik dan pengelabuan penampang radar (radar cross-section)—membuat sistem Israel justru menargetkan ancaman palsu. Bagi para insinyur, ini adalah benturan algoritma yang tak terhindarkan.
Israel pun menyerang balik: menghantam fasilitas nuklir Natanz dan melumpuhkan jaringan radar serta peluncur rudal. Lebih mengejutkan, Israel telah menanamkan senjata presisi dan drone di Iran jauh hari sebelumnya—konsep pre-positioning yang menggabungkan kekuatan serangan fisik dan siber.
Di medan perang ini, keunggulan teknologi belum tentu setara dengan efisiensi ekonomi. Iran bisa meluncurkan rudal seharga $100.000, sementara Israel harus membelanjakan jutaan dolar untuk mencegatnya. Seperti catur berdarah, satu langkah murah bisa memancing reaksi mahal dari lawan.
Israel juga menghadapi tantangan rentang waktu serangan: dari 12 menit (rudal balistik), dua jam (rudal jelajah), hingga sembilan jam (drone). Ini memaksa militer dalam kondisi berjaga terus-menerus—melelahkan dari sisi logistik maupun psikologis.
Israel kini tak lagi menunggu serangan. Dengan analisis prediktif berbasis AI dan intelijen, mereka memilih menyerang lebih dulu jika dinilai ada ancaman potensial—transformasi dari strategi bertahan ke strategi serangan pre-emptive.
Namun strategi ini menyimpan bahaya baru: automation escalation. Ketika AI berwenang mengambil keputusan, risiko kesalahan atau keputusan fatal tanpa kontrol manusia menjadi nyata.
Pertanyaannya kini bergeser: bukan lagi apakah teknologi itu bisa dibuat, tapi apakah ia perlu dibuat. Karena setiap sistem pertahanan baru mendorong pengembangan sistem serangan yang lebih mutakhir. Sebuah lingkaran tak berujung yang mendorong dunia ke tepi ketidakpastian.
Kecanggihan teknologi seharusnya menjadi jalan menuju perdamaian. Tapi hari ini, ia justru memberi rasa aman palsu yang membuka ruang untuk konflik lebih besar. Di langit Timur Tengah, algoritma terus bertarung. Tapi sampai kapan manusia bisa menahan logika perang dan mengedepankan kebijaksanaan?
Karena seperti pepatah lama: sepandai-pandainya tupai melompat, pasti ada saatnya jatuh juga. Pertanyaannya: siapa yang jatuh lebih dulu—dan siapa yang ikut jatuh bersamanya?
Ilustrasi dapat diakses di https://www.instagram.com/p/DLUS3mwzfgF/?img_index=1
Penulis : Nurhadi & Rekan
Editor : Hari Tri Wasono