Bacaini.ID, KEDIRI – Menyimpan perempuan (Pergundikan) di dalam tangsi militer jadi hal yang lazim di lingkungan tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger) pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Gubernur Jenderal W Rooseboom (1899- 1904) terang-terangan mendukung praktik pergundikan yang berlangsung di Hindia Belanda, khususnya di lingkungan tangsi militer.
Begitu juga dengan Gubernur Jenderal Van Heutsz, penggantinya yang mantan perwira KNIL, juga mendukung praktik pergundikan di kalangan tangsi militer.
Beragam penolakan yang muncul ditentangnya. Menurutnya, semua akibat negatif yang timbul akibat pergundikan di lingkungan militer belum bisa mengimbangi keuntungan yang diterima.
Kementerian Penjajahan Hindia Belanda menyebut, pada tahun 1890 terdapat 2.500 anak hidup di dalam tangsi militer.
Sebagian besar anak-anak kolong itu (sebutan anak tangsi militer) lahir dari rahim para nyai atau moentji, sebutan untuk perempuan simpanan di dalam tangsi militer.
“Secara umum mereka bukan hanya anak dari orang Eropa tetapi juga dari militer Pribumi dan yang dibawa oleh para nyai dari hubungan sebelumnya (dengan laki-laki Pribumi),” tulis Hanneke Ming dalam Barracks-Concubinage in The Indies 1887-1920.
Pada tahun 1900 populasi anak-anak haram di tangsi militer itu meningkat jadi 7.000 anak dengan 1.744 diantaranya terdaftar sebagai anak tentara Eropa. Jumlah itu ditengarai belum seluruhnya, sebab dalam praktiknya tidak semua anak didaftarkan.
Usia anak-anak hasil pergundikan itu beragam, mulai bayi hingga umur 12 tahun. Pada umumnya, bocah berusia di atas 12 tahun tidak lagi bertempat tinggal di tangsi militer.
Mereka tidak lagi menempati kolong bawah ranjang besi sebagai tempat tidur, di mana dari situlah istilah anak kolong bermuasal.
Banyak anak-anak yang mengikuti jejak bapaknya, bergabung sebagai tentara. Ada yang dibawa ke Belanda dan tidak sedikit menetap di tengah masyarakat sipil Hindia Belanda.
“Namun pada umumnya anak-anak tersebut meninggalkan tangsi bersama ibu mereka,” demikian dikutip dari buku Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
Pada umumnya kehidupan anak-anak yang berasal dari tangsi militer KNIL memprihatinkan. Jelang akhir abad ke-19, banyak anak tangsi militer yang hidup sebagai gelandangan di Hindia Belanda.
Fenomena sosial yang menyedihkan itu memantik rasa kemanusiaan Johannes van der Steur, yang pada tahun 1890-an mendirikan panti asuhan berdekatan dengan markas garnisun di wilayah Magelang, Jawa Tengah.
Panti asuhan “Pa” van der Steur menerima anak-anak miskin dan yatim piatu hasil pergundikan. Johannes van der Steur diketahui berasal dari Harlem Belanda yang tiba di Hindia Belanda akhir 1892.
Steur memiliki misi menyebarkan agama sekaligus mengabdikan diri kepada pekerjaan-pekerjaan mulia, terutama di dalam kampemen tentara kolonial.
Keberadaan panti asuhan Steur mendorong anak-anak tangsi berbondong-bondong datang. Panti juga menerima anak-anak dari berbagai lapisan sosial di Hindia Belanda.
“Kami menampung anak-anak fuselier, kapten pasukan berkuda, juru tulis dan asisten residen. Dari buruh perkebunan yang sedehana dan para pegawai administrasi perkebunan yang angkuh. Ada anak-anak orang Perancis, Belgia, Italia, Jerman dan Swiss. Tetapi yang paling banyak adalah anak-anak orang Belanda,” tulis Van der Steur dalam salah satu suratnya.
Secara sosial anak-anak hasil pergundikan, termasuk warga tangsi militer KNIL kurang mendapat tempat, baik oleh masyarakat sipil Hindia Belanda maupun warga Eropa.
Mereka dipandang sebagai entitas bodoh, biadab, tidak dapat dipercaya dan sangat rusak, karenanya tidak perlu diberi kesempatan mengembangkan dan memajukan diri.
Hal itu yang mendorong anak laki-laki hasil pergundikan di tangsi militer selalu mengikuti jejak bapak haramnya, menjadi serdadu. Sedangkan anak-anak perempuan melanjutkan jejak ibunya jadi gundik atau nyai untuk tentara.
Masyarakat sipil Eropa memandang anak-anak hasil pergundikan tangsi sebagai hal yang mengerikan. “Mereka dilihat sebagai wujud kebobrokan moral orang-orang Eropa di koloni,” tulis Reggie Baay dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
Johannes van der Steur sangat menentang praktik pergundikan di tangsi militer, sampai-sampai menyurati Direktur Pendidikan Agama dan Industri yang intinya mendesak segera dilangsungkan pernikahan sebanyak mungkin.
Pada tahun 1911, perdebatan soal pergundikan kian sengit dan jumlah orang yang menentang semakin banyak.
Pada tahun 1913 Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.F Idenburg, pengganti Van Heutsz, membuat pernyataan terbuka akan menghapus praktik pergundikan secara bertahap.
Pasca tahun 1913 praktik pergundikan di dalam tangsi militer menurun drastis, di mana jumlah gundik terus menyusut.
Pada tahun 1919 Gubernur Jenderal J.P Graaf van Limburg Stirum secara resmi mengumumkan pelarangan praktik pergundikan di lingkungan tangsi tentara. Kendati demikian tidak sedikit yang berpandangan pelarangan itu akan menimbulkan hal buruk yang lebih besar.
Penulis: Solichan Arif