Bacaini.ID, KEDIRI – Pada era modern, laki-laki berambut panjang atau gondrong selalu diidentikan dengan kebebasan, kasar, serta setumpuk stigma negatif lainnya.
Padahal sebenarnya, anggapan pria rambut gondrong ‘tak beradab’ itu merupakan stigma warisan kolonial. Sengaja diciptakan oleh kolonial.
Baca Juga:
- Apa Saja Kain Nusantara yang Menjadi Warisan Budaya?
- Kearifan Lokal Masyarakat Adat: Penjaga Hutan yang Diabaikan
- Resep Semur Warisan Kelas Sosial Makmur
Budaya asli Nusantara membuktikan kaum laki-laki sejak zaman dulu memiliki rambut panjang yang dibentuk: gelung, cepol atau urai, sesuai strata sosial.
Rambut panjang menjadi identitas maskulin laki-laki di Nusantara sejak ribuan tahun lalu sebelum era kolonial. Rambut panjang pada laki-laki biasanya digelung, dicepol, diikat kain kepala, dikonde, atau kadang dibiarkan tergerai hingga bahu dan punggung.
Rambut panjang bukan sekadar gaya, melainkan simbol kedewasaan, kehormatan, status sosial, bahkan kesakralan.
Rambut Panjang Laki-laki Nusantara
Candi Borobudur dan Prambanan menyimpan bukti sejarah mengenai ini. Relief yang menampilkan ratusan figur laki-laki: raja, prajurit, pedagang, hingga rakyat biasa, hampir semuanya memakai rambut sedang hingga panjang yang diikat ke atas membentuk gelung atau konde kecil.
Model gelungan yang sekarang lazim disebut cepol ini, merupakan gelung monthil atau gelung keling. Model yang sama terlihat pada arca-arca dari masa Singhasari dan Majapahit, abad ke-13 sampai 15.
Prajurit Majapahit di relief Candi Penataran dan Candi Sukuh digambarkan memakai ikat kepala dengan rambut dicepol kedalam.
Ketika Islam masuk dan Kesultanan Demak serta Mataram Islam berkuasa abad ke-16 sampai 18, rambut panjang justru semakin populer dalam bentuk gondrong lepas atau diikat dengan ikat kepala ala kesatria Persia-Turki.
Lukisan Sultan Agung Hanyokrokusumo, Pangeran Diponegoro (oleh Raden Saleh), dan para senopati Mataram menunjukkan rambut panjang tergerai hingga dada.
Di era itu memotong rambut sangat pendek bisa dianggap sebagai hukuman. Hal ini merujuk pada para tahanan politik keraton yang sering dipotong rambutnya sebagai tanda perendahan derajat.
Selain di Jawa, di Sumatera juga terdapat bukti-bukti sejarah mengenai penampilan rambut laki-laki era tersebut.
Arca Buddha dari situs Muara Jambi dan Padang Lawas, abad ke-7 sampai 13, memperlihatkan lelaki berambut panjang diikat jata, gelung khas India yang diadopsi lokal. Tradisi ini berlanjut hingga masa kesultanan Melayu.
Di kalangan Batak Toba, Karo, dan Simalungun, foto-foto etnografi yang diambil misionaris Jerman dan Belanda tahun 1870–1910 masih menangkap ribuan pria dengan rambut gondrong panjang yang dicepol kain uhum atau bulang.
Panglima perang Batak terkenal Sisingamangaraja XII (wafat 1907) digambarkan dengan rambut panjang tergerai sebagai lambang keperkasaan.
Sementara di Minangkabau, laki-laki memakai destar atau saluak yang menutupi rambut panjang yang dicepol ke dalam.
Di Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607–1636) dan para uleebalang digambarkan memakai kupiah meukeutop dengan rambut panjang dicepol ke dalam. Tradisi ini bertahan hingga Perang Aceh (1873–1914).
Rambut Panjang Simbol Kejantanan
Suku Dayak: Ngaju, Iban, Kayan, Kenyah, Punan, hingga kini masih banyak yang mempertahankan rambut panjang sebagai tanda maskulinitas sejati.
Bagi Dayak Kayan dan Kenyah, memotong rambut pendek hanya dilakukan saat berkabung atau kalah perang, dan ini adalah hal yang dianggap sangat memalukan.
Foto-foto ekspedisi Nieuwenhuis tahun 1894 dan laporan Hose & McDougall (1912) menunjukkan hampir semua laki-laki Dayak dewasa berambut panjang hingga pinggang.
Kesultanan Banjar dan Kutai juga mengikuti pola yang sama: sultan dan pembesar memakai tanjak atau destar dengan rambut panjang dicepol ke dalam.
Rambut panjang bagi laki-laki Nusantara merupakan simbol kejantanan.
Di Bali, lukisan Kamasan dan arca-arca Bali abad ke-14 sampai 19 selalu menggambarkan laki-laki dengan rambut panjang yang digelung atau dicepol udeng.
Hingga tahun 1950-an, laki-laki Bali di desa-desa masih mayoritas memelihara rambut panjang. Potong cepak baru populer setelah anak-anak masuk sekolah negeri dan wajib militer pada era Soekarno.
Hal yang sama juga terekam dalam bukti-bukti sejarah di Kerajaan Gowa-Tallo, laki-laki Bugis-Makassar memakai songkok toda atau passapu dengan rambut panjang dicepol ke dalam. Daeng Marewa dan Arung Palakka (abad ke-17) digambarkan gondrong.
Di Ternate dan Tidore, sultan-sultan Maluku hingga akhir abad ke-19 memakai mahkota sorbana dengan rambut panjang tergerai.
Di Sumba dan Flores, pria bangsawan hingga awal abad ke-20 masih memelihara rambut panjang sebagai tanda status.
Rambut Cepak Pengaruh Kolonialisme
Perubahan drastis model rambut pria di Nusantara, terjadi bertahap melalui tiga gelombang kolonial dan modern:
• Abad ke-18 hingga 19: VOC dan KNIL mewajibkan prajurit pribumi (Mardijker, Ambon, Jawa) potong rambut pendek model Eropa. Tahanan dan budak di penjara serta perkebunan juga dipotong rambut sebagai bentuk penghinaan.
• Akhir abad ke-19 sampai 1942: Sekolah-sekolah Belanda (HIS, MULO, AMS) dan sekolah misionaris mewajibkan rambut pendek sebagai tanda ‘beradab’.
Anak pribumi yang rambutnya panjang sering dicukur paksa di depan teman-temannya.
• 1942–1998: Pendudukan Jepang (Romusha), Revolusi Fisik, hingga Orde Baru memaksa seluruh pelajar laki-laki dan PNS rambut pendek ‘cepak presisi’. Rambut panjang dikaitkan dengan ‘orang liar’, ‘komunis’, atau ‘tidak disiplin’.
Kurang dari satu abad, citra pria Nusantara berubah total dari gondrong menjadi cepak yang dianggap lebih modern dan beradab.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





