Bacaini.id, NGANJUK – Cikal bakal nama Nganjuk tidak lepas dari Prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di area Candi Lor, Desa Candirejo, Kecamatan Loceret. Pada prasasti tersebut terdapat kata Anjuk Ladang, seorang tokoh yang dikenal dengan Samgat (Sang Pamegat) Pu Anjuk Ladang, kemudian kata Anjuk mengalami perubahan menjadi Nganjuk.
Dalam Prasasti Ajuk Ladang juga tertuang pemberian Sima Swantantra (Daerah Bebas Pajak) dari Raja Mataram Medang pertama periode Jawa Timur yakni Pu Sindok, kepada rakyat Anjuk Ladang yang telah membantu peperangan melawan pasukan dari Kerajaan Sriwijaya.
“Pu Sindok memerintahkan agar sebidang sawah di Anjuk Ladang ditetapkan sebagai daerah bebas pajak untuk dipersembahkan kepada Bhatara di Sang Hyang Prasada Kebhaktyan (tempat suci) Sri Jayamerta (Candi Lor),” kata Sukadi, Pegiat Sejarah Nganjuk, Minggu, 9 April 2023.
Di dekat tempat suci itu terpancang Jayastamba atau tugu kemenangan yang disebut merupakan Prasasti Anjuk Ladang. Pada bagian atas sisi muka Jayastamba terdapat relief Chattra atau payung dan di bawahnya terdapat relief naga di atas teratai yang diapit cakra berjari empat dengan lidah api di sebelah kanannya.
Sementara di sebelah kiri terdapat relief sangkha atau siput bersayap. Relief tersebut sebenarnya berupa sengkala memet naga bernilai 8, cakra bernilai 5, dan sangkha bernilai 9. Jika digabung, angka tersebut menunjukkan tahun 859 Caka atau 937 Masehi yaitu tahun pemberian tanah perdikan Anjuk Ladang.
“Angka tahun yang tertera pada Jayastamba adalah tanggal 12 Bulan Caitra tahun 859 Caka bertepatan dengan 10 April 937 Masehi,” jelas Sukadi.
Oleh Pemerintah Kabupaten Nganjuk, tanggal 10 April dijadikan sebagai patokan Hari Jadi Nganjuk yang tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Nganjuk No.495 tahun 1993. Kini prasasti yang juga disebut dengan Prasasti Candi Lor yang asli disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D. 59.
“Replika persis aslinya bisa dilihat di Museum Anjuk Ladang,” imbuh Sukadi.
Sukadi menyebutkan, Prasasti Anjuk Ladang terbuat dari batu andesit dengan tinggi mencapai 2,6 meter, lebar 100 sentimeter dengan tebal luar 27 sentimeter dan lebar tengah 33 sentimeter. Pada bagian depan prasasti terdapat 49 baris isi dan bagian belakang memuat 36 baris isi yang ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno.
Dari tulisan yang masih dapat terbaca diketahui bahwa prasasti tersebut dibuat atas perintah Pu Sendok bergelar Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isyana Wikrama Dharmottunggadewa. Raja Medang ini memerintahkan Rakryan Hino Pu Sahasra dan Rakryan Wka Pu Baliswara yang kemudian diteruskan kepada pejabat di bawahnya yakni Rakai Kanuruhan Pu Da.
Isi prasasti tersebut dituliskan dalam sebuah batu, yang disebut Jayastamba berupa tugu sebagai simbol kemenangan. Jayastamba ini menurut Sukadi tidak pernah ditemukan di daerah lain di Indonesia dan hanya pernah ditemukan di negara Laos, tetapi dalam konteks yang berbeda.
“Bedanya, Jayastamba di Laos dibuat untuk legitimasi kekuasaan raja sedangkan di Nganjuk sebagai tugu kemenangan setelah perang,” ujarnya.
Untuk mememperingati peristiwa penting pada masa silam tersebut, setiap tahun digelar upacara Manusuk Sima di Candi Lor, di mana setiap tokoh memperagakan adegan seperti yang tertulis pada prasasti Anjuk Ladang. Harapannya, masyarakat Nganjuk tidak melupakan dan memahami sejarah dengan sebenar-benarnya.
Penulis: Asep Bahar
Editor: Novira