Bacaini.id, BLITAR – Istilah hidung belang yang merujuk kepada para lelaki yang gemar gonta-ganti pasangan sudah lama didengar. Sebutan itu bukan hanya berlaku bagi pria genit yang suka berbelanja seks, tapi juga meluas kepada mereka yang terlibat perselingkuhan.
Mulai kapan sebutan hidung belang itu muncul? Sebelum mengulas asal-usul istilah yang berkelindan dengan praktik seksual itu, ada baiknya menengok sebentar fenomena sosial yang belum lama ini menghebohkan masyarakat Blitar Raya Jawa Timur.
Pada akhir Maret 2024, praktik prostitusi online terbongkar di wilayah Kota Blitar. Sedikitnya 7 orang yang bertindak sebagai “vendor seks” telah diamankan aparat kepolisian Polres Blitar Kota.
Terungkap, masing-masing berperan sebagai muncikari, operator, yakni pencari konsumen via online atau memakai platform media sosial (medsos), serta perempuan penyedia jasa seksual.
Praktik esek-esek online yang mereka jalankan sudah menyerupai industri kecil. Perempuan penyedia jasa seks digaji Rp 8 juta per bulan dan operator mendapat pembagian 20 persen untuk sekali transaksi.
Sementara muncikari memperoleh bagian setelah dipotong dari semua biaya itu termasuk biaya hotel. Untuk sekali kencan di sebuah penginapan atau hotel yang ditentukan, penyedia jasa seks online mamatok tarif Rp 300 ribu hingga Rp 1juta.
Para perempuan penyedia layanan seks komersial itu mengaku mampu melayani 3-5 tamu pria hidung belang dalam sehari. Yang menarik lagi, mereka juga mengungkapkan alasan kenapa memilih beroperasi di wilayah Blitar Raya.
Para pelaku bisnis seks online itu diketahui berasal dari luar Blitar. Mereka mengaku Blitar lebih ramai dibanding daerah lainnya, yakni seperti Kediri atau dalam frasa lain Blitar memiliki “pasar hidung belang” yang besar.
Kembali kepada asal-usul atau sejarah hidung belang. Sejumlah sumber sejarah menyebut sebutan hidung belang berasal dari peristiwa skandal seks yang pernah terjadi di lingkungan kastil J.P Coen (1587-1629), Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Jakarta).
Skandal seks yang menghebohkan itu melibatkan Sara Specx, putri Jacques Specx, anggota Dewan Hindia yang juga sekaligus karib J.P Coen. Sara sudah seperti putri JP Coen sendiri setelah dititipkan Jacques Specx lantaran dia harus memenuhi panggilan tugas ke Belanda.
Sara Specx dikenal sebagai gadis yang rupawan. Ibunya seorang perempuan Jepang yang menjadi gundik Jacques Specx. Sara yang lahir di Jepang oleh orang tuanya dibawa ke Hindia Belanda.
Ia menjadi staatdochter atau putri negara yang sekaligus dipekerjakan sebagai salah satu pengiring Eva Ment, istri JP Coen.
Di tengah kesibukannya Sara diam-diam menjalin asmara dengan Piter Jacobszoon Cortenhoeff, seorang vaandrig atau serdadu bawahan yang biasa menjaga kastil Batavia. Piter merupakan pemuda kelahiran Arakan (Myanmar).
Ayahnya seorang koopman atau pedagang Belanda yang menikahi perempuan pribumi. Ketampanan Piter Jacobszoon yang ditemui setiap hari memesona Sara. Skandal seks itu terjadi pada malam hari.
Sejoli yang lagi kasmaran itu kepergok memadu kasih di dalam kastil Gubernur Jenderal J.P Coen dan sontak kabar itu menyebar luas.
J.P Coen diketahui seorang puritan yang memegang erat ajaran calvinis. Peristiwa memalukan itu membuat mukanya serasa tertampar. Baginya pelaku pelanggaran seksual harus dihukum berat.
“Coen ingin hukum ditegakkan. Ia tidak ingin menjilat ludahnya sendiri,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Pada 6 Juni 1629, hukuman berat dijatuhkan. Eva Ment, istri Coen dan dewan gereja mencoba merayu untuk membatalkan hukuman, namun J.P Coen tak mengindahkan.
Diputuskan Piter Jacobszoon harus dihukum pancung. Sebelum kepala itu dipenggal, wajah tampan Pieter, terutama hidung oleh algojo dicoreng arang. Arang yang mencoreng hidung sebagai tanda pelaku pencabulan.
Saat leher ditebas dan kepala menggelinding di atas tanah, warga menyaksikan bagian hidung mayat belang oleh coretan arang. Warga pun menyebut kepala pelaku skandal seks itu sebagai si hidung belang.
Begitulah kisah asal-usul sebutan si hidung belang yang dimulai pada masa kolonial Hindia Belanda.
Penulis: Solichan Arif