Bacaini, KEDIRI – Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S PKI menjadi titik balik nasib Partai Komunis Indonesia (PKI).
Partai politik yang pernah hancur pada tahun 1926 dan 1948 itu kembali terpuruk. Mulai pimpinan, kader, hingga simpatisan PKI di seluruh Indonesia, diburu dan ditangkap.
Perburuan utamanya terkonsentrasi di daerah-daerah yang sebelumnya dikenal sebagai basis, yakni wilayah Jawa Timur yang di antaranya karesidenan Kediri dan Madiun serta sebagian besar Jawa Tengah.
Kawasan karesidenan Kediri dan Madiun yang menjadi kantong suara PKI dalam Pemilu 1955 berubah menjadi ladang pembantaian. Tidak sedikit orang-orang PKI yang tertangkap kemudian dihabisi.
Sejarah politik Indonesia mencatat, sebelum meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965, PKI menjadi salah satu partai yang difavoritkan rakyat, yakni bersaing ketat dengan PNI, Masyumi dan NU.
Meski hancur pada peristiwa Madiun 18 September 1948, kader PKI yang selamat terbukti tidak pernah patah arang. Konsolidasi antar kader dan simpatisan partai terus dibangun.
Orang-orang PKI selalu menemukan jalan keluar. Secara klandestin sel-sel yang tersisa terus dihidupkan dan itu berlangsung cepat. Pasca peristiwa Madiun 1948, PKI berhasil bangkit dan bahkan lolos menjadi peserta Pemilu 1955.
Dilansir dari catatan peneliti asing Herbert Feith Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1971). Perolehan suara PKI di tingkat nasional mencapai 6.176.914 suara yang sekaligus menempatkan PKI pada posisi empat besar.
Di Provinsi Jawa Timur sendiri, PKI berada pada posisi dua besar, yakni dengan perolehan 2.299.602 suara. Sementara perolehan suara terbesar atau pertama di Jatim ditempati NU yang meraup 3.370.554 suara.
Dalam Kongres Nasional VII PKI pada 25-30 April 1962, Presiden Soekarno atau Bung Karno yang berpidato di Kongres memuji perkembangan PKI yang dinilainya begitu progresif.
Kendati demikian Bung Karno mengatakan di depan massa kader dan simpatisan Kongres PKI, perkembangan pesat PKI bukan karena dirinya.
“Saya dengan tegas berkata, adanya PKI berkembang biak dari 150.000 orang menjadi 2 juta orang bukan kok saya, karena saya bombong, bukan kok karena suatu ucapan komunis itu, orang komunis Indonesia itu yo kadangku yo sanakku. Bukan,” kata Bung Karno seperti dikutip dari buku Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno (2013).
“PKI menjadi besar, PKI menjadi ndodro di mana-mana, PKI menjadi kuat ialah karena PKI konsekuen memihak kaum buruh dan kaum tani. Karena PKI konsekuen memperjuangkan nasib si jembel, konsekuen hendak memberikan kehidupan yang layak kepada rakyat jelata, konsekuen menentang imperialisme, konsekuen hendak mengibarkan bendera Sang Merah Putih di seluruh wilayah tanah air Indonesia, oleh karena itulah PKI menjadi besar,” tambah Bung Karno disambut tepuk tangan panjang peserta Kongres.
PKI sejak bangkit dari kekalahan peristiwa Madiun 1948 langsung menampilkan diri sebagai partai politik berdisiplin tinggi sekaligus melakukan kerja-kerja politik yang efektif.
Isu-isu yang diperjuangkan PKI terkait erat dengan apa yang menjadi persoalan mendasar masyarakat bawah. Di antaranya soal kepemilikan tanah, yakni tanah untuk rakyat, hingga praktek ijon dan renternir yang banyak merugikan masyarakat kecil.
Terutama sejak dinahkodai DN Aidit, Njoto, dan Lukman, yakni sebagai kader-kader muda pasca terbunuhnya Musso, PKI maju pesat. Dalam catatan Pemilihan Umum di Indonesia 1955 dikatakan, struktur keanggotaan PKI mirip dengan Partai Komunis Eropa.
Sampai tingkat tertentu PKI bersifat totaliter. Sebagaimana Murba yang didirikan Tan Malaka, PKI tidak terlalu menaruh perhatian pada politik berebut jabatan bupati atau jabatan-jabatan pemerintahan lainnya.
“Kegiatan partai terpusat pada proletariat di kota dan perkebunan, pada kelompok pemuda dan veteran, serta pada kelompok pemberontak dan gerombolan bandit tertentu”.
Gelembung dukungan PKI yang terus membesar itu akhirnya pecah berantakan. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 membuat PKI kembali hancur berkeping-keping. Pada 12 Maret 1966, PKI resmi dibubarkan dan sekaligus dinyatakan sebagai partai terlarang.
Untuk yang ketiga kalinya PKI luluh lantak, di mana para kader dan simpatisan yang selamat dari perburuan dan pembantaian mencari selamat ke mana-mana.
Penulis: Solichan Arif