KEDIRI – Pemakaian mesin uap menjadi salah satu alasan kenapa Pabrik Gula Mritjan di wilayah kelurahan Merican, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri berdiri bersebelahan dekat dengan aliran Sungai Brantas. PG Mritjan berdiri mulai tahun 1903, dan sampai hari ini masih beroperasi.
Saat awal berdiri, seluruh mesin pabrik digerakkan tenaga uap. Semua ketel yang ada bergantung pada air sungai Brantas. Begitu juga tempat pembuangan limbah. Termasuk lokomotif pengangkut bahan baku serta hasil pabrik gula, semuanya memakai tenaga mesin uap.
Sejarawan Kota Kediri, Sigit Wiatmoko menyebut, pembangunan PG Mritjan didahului berdirinya Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM) pada tahun 1895. Di masa itu, kata Sigit, sudah ada pabrik gula di sekitar wilayah Kediri. Masa itu merupakan masa kejayaan alat transportasi trem.
Yakni salah satu transportasi penunjang ekonomi pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkut hasil bumi. “Kediri dilirik karena tanahnya adalah tanah vulkan, tanpa dipupuk tanah ini sudah sangat subur, dan ini menarik untuk mereka,” tutur Sigit kepada Bacaini.id.
Konstruksi bangunan PG Meritjan secara umum tidak banyak berubah. Memasuki area pabrik, terlihat tembok tinggi, tebal, sekaligus menjulang. Beberapa bagiannya nampak terkelupas di sana sini. Sebuah kerusakan kecil yang tidak berarti.
Terlihat juga sebuah cerobong asap lawas yang tidak pernah bergeser dari tempatnya. Pada permukaanya tergurat tulisan PG Meritjan 1939. Pada sudut lain, yakni sisi barat, sebuah lokomotif bermesin uap terparkir di halaman kantor. Ada juga rangkaian lori yang masih berfungsi. “Di musim giling masih digunakan mengangkut tebu menuju penggilingan,” kata salah satu pekerja pabrik.
Dalam tulisan “Gula”, Sarjadi Soelardi Hardjosoepoetro menyebut, pendirian De Nederlanse Handel Maatschppij (NHM) pada tahun 1824, sebagai tonggak berdirinya pabrik gula bermesin di Hindia Belanda. NHM menggeser kewenangan VOC. Sejak saat itu daerah penghasil gula sebelumnya, yakni seputar Jakarta dan Banten, ditinggalkan.
Sebagai gantinya, bermunculan pabrik pabrik gula baru yang tersebar di sejumlah daerah, tingkat kabupaten. “Karena begitu pentingnya komoditi gula sebagai pengisi kas pemerintah kolonial, maka dalam tahun 1830 diberlakukan peraturan Cultuurstelsel atau tanam paksa bagi budidaya gula”, tulis Sarjadi Soelardi Hardjosoepoetro.
Di masa itu pemerintah kolonial menjalin kontrak dengan para pengusaha pabrik gula. Mereka diminta mengolah tebu menjadi gula pasir. Pengusaha pabrik gula umumnya pengusaha swasta. Termasuk PG Meritjan Kediri. Hanya di beberapa daerah, operasional pabrik gula milik pemerintah dipimpin pegawai pemerintah (ambtenaren).
Namun rata-rata mereka (ambtenaren) gagal menjalankan bisnis gula. Dalam kerjasama dengan pemerintah kolonial tersebut, pengusaha pabrik gula mendapat bantuan kredit permodalan.
“Kalau produksi gula pada akhir zaman tanam paksa (1878) baru mencapai rata rata 6 ton per hektar, maka di tahun berikutnya meningkat terus dengan mencapai puncaknya di tahun 1940 dengan produksi rata rata 17,6 ton gula per hektar,” kata Sarjadi Soelardi Hardjosoepoetro dalam catatan “Gula”.
Sejarawan Sigit Wiatmoko mengatakan, kejayaan industri gula tidak berlangsung lama. Saat krisis ekonomi (malaise) melanda dunia, bisnis gula di Hindia Belanda ikut terimbas, termasuk PG Meritjan Kediri. “Pabrik (PG Meritjan Kediri) berhenti total sampai tahun 1933,” kata Sigit.
Catatan “Gula” menyebut, Malaise dimulai tahun 1931 dan berlangsung selama lima tahun. Banyak gula di Jawa yang menumpuk di gudang karena kesulitan ekspor. Dari sebanyak 179 PG yang beroperasi di tahun 1930, hanya tersisa 35 pabrik pada tahun 1936. Namun seusai resesi, yakni tahun 1940, jumlah PG yang berproduksi bertambah menjadi 92 pabrik.
Menurut Sigit, selepas resesi, masa kejayaan PG Meritjan hampir kembali. Namun tidak berselang lama penjajah Jepang datang dan menghentikan seluruh produksi. “Jepang menguasai dan saat itu pabrik nyaris nol produksi,” papar Sigit.
Dalam keadaan tidak berproduksi, Jepang mengalihfungsikan PG Meritjan sebagai pabrik pembuatan senjata perang. Situasi ini berlangsung hingga Jepang kalah di Perang Dunia II dan menyerah kepada tentara sekutu. Seiring proklamasi kemerdekaan, kepemilikan PG Meritjan diambil alih oleh PTPN.
“Di tangan PTPN kembali difungsikan sebagai pabrik gula,” tambah Sigit. Di awal masa kemerdekaan itu, situasi politik masih tidak menentu. Pendudukan dan penjarahan oleh laskar rakyat terhadap aset aset penting yang ditinggalkan Jepang terjadi di mana mana. Rakyat tidak ingin Belanda yang datang dengan membonceng tentara Inggris (NICA) kembali menguasai aset yang ditinggalkan Jepang.
Peristiwa itu berlangsung pada tahun 1948 atau tiga tahun paska proklamasi kemerdekaan. Rakyat yang marah membakar sejumlah pabrik gula di wilayah Kediri, yakni PG Purwoasri, PG Pelemahan, PG Bendo dan PG Minggiran. Sedangkan PG Meritjan menjadi salah satu aset yang selamat dari penjarahan.
“Saat itu karena tidak ada kontrol ini milik siapa. Belanda bukan, Indonesia bukan, Jepang juga bukan. Terjadi pada tahun 1948 dan di masa transisi kekuasaan itu PG Meritjan termasuk yang selamat,” pungkas Sigit.
Penulis: Karebet, Garendi
Editor: Garendi