Bacaini.ID, JAKARTA – Di bawah langit malam Washington yang berbintang, seorang pria berjas hitam berdiri di podium. Suaranya bergema, membelah keheningan. “Hari ini, saya mengumumkan kelahiran Partai Amerika. Sebuah partai yang akan mengembalikan kebebasan Anda dari cengkeraman unipartai Demokrat-Republik,” ucap Elon Musk dengan tegas pada 5 Juli 2025.
Kalimat itu menandai babak baru dalam drama politik Amerika yang tak pernah sepi. Pengusaha teknologi terkaya dunia ini akhirnya mewujudkan ancamannya setelah berbulan-bulan berseteru dengan mantan sekutunya, Presiden Donald Trump.
Dari Sekutu Menjadi Lawan
Kisah perseteruan ini bermula dari kritik pedas Musk terhadap “One Big Beautiful Bill” senilai $2,4 triliun yang diusung Trump. “Kekejian yang menjijikkan,” begitu Musk menyebutnya, mengutuk apa yang ia anggap sebagai pemborosan anggaran dan korupsi.
“Saya menyesal komentar saya terlalu jauh,” tulis Musk beberapa hari kemudian, mencoba meredakan situasi. Namun, api permusuhan terlanjur membara.
Trump, dikenal dengan temperamennya yang meledak-ledak, membalas dengan ancaman. “Mungkin saya harus menempatkan DOGE pada Elon,” sindirnya, merujuk pada Departemen Efisiensi Pemerintah yang pernah dipimpin Musk. “Tanpa subsidi pemerintah, dia harus tutup usaha dan kembali ke Afrika Selatan.”
Lahirnya Kekuatan Politik Baru
Jajak pendapat di platform X milik Musk menjadi titik balik. Lebih dari 65% dari 1,2 juta responden mendukung pembentukan partai baru. “Inilah suara 80% masyarakat di tengah yang tidak terwakili,” klaim Musk.
Partai Amerika lahir dengan janji mendobrak sistem dua partai yang dianggap Musk sebagai “sistem satu partai dalam samaran.” Langkah ini mengejutkan banyak pihak, termasuk para pengamat politik yang skeptis.
“Membentuk partai ketiga di Amerika seperti mencoba mendaki Everest dengan sandal jepit,” ujar Dr. Eleanor Simmons, profesor ilmu politik dari Universitas Georgetown. “Tantangan legal dan logistiknya luar biasa berat.”
Analisis Geopolitik: Dampak Global dari Pertarungan Dua Titan
Perseteruan Musk-Trump lebih dari sekadar drama politik domestik—ini adalah pergeseran tektonik dalam lanskap geopolitik global.
Pertama, China merespons dengan antusiasme tersembunyi. Popularitas Musk melonjak di negeri Tirai Bambu setelah kritiknya terhadap kebijakan proteksionis Trump. Beijing melihat celah untuk menjalin hubungan lebih erat dengan perusahaan-perusahaan Musk, terutama Tesla yang memiliki Gigafactory di Shanghai.
“Perpecahan elit Amerika adalah kesempatan strategis bagi China,” jelas Zhang Wei, analis hubungan internasional dari Universitas Tsinghua. “Ini membuka peluang untuk memperkuat posisi China dalam perang teknologi global.”
Di Eropa, pembentukan Partai Amerika dipandang sebagai sinyal melemahnya kepemimpinan Amerika. Uni Eropa kini mempertimbangkan untuk mempercepat agenda otonomi strategisnya, terutama dalam teknologi dan pertahanan.
“Ketika Amerika terfragmentasi secara politik, Eropa harus mengisi kekosongan,” tegas Presiden Komisi Eropa dalam pernyataan tertutup.
Implikasi Geostrategis: Realignment Kekuatan Global
Dari perspektif geostrategis, perpecahan Musk-Trump menciptakan realignment kekuatan yang signifikan:
- Pengaruh Teknologi dalam Geopolitik: Musk bukan sekadar CEO—dia adalah pemimpin imperium teknologi yang mencakup transportasi luar angkasa (SpaceX), kecerdasan buatan (xAI), dan internet satelit (Starlink). Kontrolnya atas infrastruktur kritis ini memberikan leverage geopolitik yang belum pernah terjadi sebelumnya.
- Perang Pengaruh di Negara Berkembang: Starlink telah menjadi alat diplomasi publik yang ampuh, menyediakan konektivitas internet di wilayah konflik dan bencana. Dengan Musk sebagai aktor politik independen, negara-negara berkembang kini memiliki opsi ketiga di luar pengaruh AS atau China.
- Keamanan Nasional Terfragmentasi: Departemen Pertahanan AS bergantung pada teknologi SpaceX untuk peluncuran satelit militer. Perpecahan politik ini menimbulkan kekhawatiran tentang keandalan kemitraan ini, mendorong Pentagon untuk mempertimbangkan diversifikasi penyedia layanan.
- Diplomasi Ruang Angkasa yang Berubah: Program Artemis untuk kembali ke Bulan dan misi Mars yang didorong NASA kini berada dalam ketidakpastian. Musk dapat mengalihkan fokus SpaceX ke kemitraan internasional alternatif, potensial membuka era baru dalam tata kelola ruang angkasa global.
Epilog: Demokrasi di Era Miliarder Teknologi
Saat matahari terbenam di Silicon Valley, bayangan panjang gedung-gedung pencakar langit mengingatkan pada pergeseran kekuasaan yang sedang berlangsung. Elon Musk, dengan kekayaan $386 miliar dan 201 juta pengikut di X, telah mengubah definisi kekuatan politik.
“Ini bukan lagi tentang Republik versus Demokrat,” kata seorang pengamat politik dan aktivis 98 Rama Pratama kepada Bacaini.ID. “Ini tentang kekuatan tradisional melawan kekuatan baru berbasis teknologi dan modal.”
Apakah Partai Amerika akan bertahan atau menjadi sekadar catatan kaki dalam sejarah politik Amerika? Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal pasti: pertikaian Musk-Trump telah membuka kotak Pandora tentang peran miliarder teknologi dalam demokrasi modern dan tatanan dunia baru yang sedang terbentuk.
Penulis : Danny Wibisono
Editor : Hari Tri Wasono