Bacaini.id, SURABAYA – Media sosial berpotensi menjadi medium penyebaran informasi paham intoleransi, radikalisme dan terorisme. Saat ini jumlah pengguna aktif platform Whatsapp, Twitter, Facebook, Youtube, Instagram dan TikTok mencapai 191 juta di Indonesia.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jatim Arief Rahman mengatakan penetrasi media sosial dalam mempengaruhi cara berpikir dan etika masyarakat sangat luar biasa. “Bangsa kita selama ini penuh dengan keramahan, adab sopan-santun seperti yang diajarkan orang tua. Local wisdom kita seperti itu. Tapi tidak kelihatan sama sekali sekarang ini di medsos kita,” katanya dalam dialog kebangsaan bertema ‘Sinergi Bangun Masa Depan Indonesia Maju dan Harmoni’ di Jl Ketintang Baru XIV Surabaya, Sabtu, 29 Oktober 2022.
Jika kondisi itu terus berlanjut, akan menjadi ekosistem strategis untuk menumbuhkan paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Karena itu Arief Rahman yang juga Ketua Komite Komunikasi Digital Jatim ini berharap masyarakat lebih bijaksana dalam bersosial media dan menyebarkan informasi. “Apalagi informasi yang cenderung menyesatkan dan memecah belah kesatuan bangsa,“ katanya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia Komjen Pol Dr. Boy Rafli Amar mengatakan ada beberapa karakteristik ideologi radikal yang digunakan untuk melakukan doktrin. Diantaranya adalah penyalahgunaan narasi agama, sikap anti kemanusiaan, ekstrimisme, anti negara dan Pancasila. Ideologi transnasional ini memiliki tujuan ideologis dan politik, serta bersifat intoleran dan eksklusif.
BNPT berusaha menekan doktrin tersebut dengan menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama. Termasuk membentu WARUNG NKRI (Wadah Akur Rukun Usaha Nurani Gelorakan Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai upaya pendekatan lunak dalam menanggulangi paham radikal dan terorisme di Indonesia. “Jangan sampai kelompok teroris ini mempengaruhi anak muda kita,” kata Boy.
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak menambahkan, ada beberapa ciri seseorang bersikap intoleran setelah terpapar paham radikal. Di antaranya absolutisme (kesombongan intelektual), ekslusivisme (kesombongan sosial), fanatisme (kesombongan emosial), ekstrimisme (berlebihan dalam bersikap), dan agresivisme (berlebihan dalam melakukan tindakan fisik).
“Tidak semua aksi radikal mempunyai basis keagamaan. Tetapi, tidak sedikit radikalisme yang terjadi atas nama agama,” terangnya.
Pemprov Jawa Timur sudah memiliki sejumlah regulasi untuk mempersempit pergerakan teroris di wilayahnya. Yakni Pergub tahun 2012 nomor 55 tentang pembinaan agama dan pengawasan aliran sesat, penerbitan Pergub yang melarang keberadaan ISIS di Jatim, Perda Jatim nomor 8 tahun 2018 dan Keputusan Gubernur Jatim tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah di Jatim.
Acara dialog kebangsaan ini juga menghadirkan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, Ketua Umum PW GP Ansor Jatim Gus Syafiq Syauqi, dan dimoderatori oleh Hesti Armiwulan, Ketua FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme) Jawa Timur.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video: