Bacaini.id, TULUNGAGUNG – Pagelaran wayang kulit di Tulungagung kini mulai mengalami pergeseran dengan masuknya campur sari dan lawakan. Antusias penonton pun berganti, sehingga terjadilah degradasi yang menjadi kegelisahan tersendiri bagi para dalang.
Ketua Komunitas Dalang Remaja Tulungagung (Kodrat), Hazil Abirama mengungkapkan bahwa fenomena perpaduan ini mengakibatkan wayang kulit sendiri pada akhirnya tertutupi pertunjukan campursari dan lawakan.
“Kalau ada pagelaran wayang kulit, penonton itu lebih banyak menunggu campursari atau dagelan, daripada siapa dalangnya atau apa cerita yang dibawakan dalam pagelaran wayang kulit itu sendiri,” ungkap Hazil kepada Bacaini.id, Senin, 7 November 2022.
Keresahan itu tentu juga dirasakan pedalang muda yang tergabung dalam Kodrat. Namun, mereka lebih bijak menyikapi pergeseran ini sebagai bentuk kritik yang membangun untuk dapat mengembalikan nilai pagelaran wayang kulit.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan para dalang muda ini adalah terus mengasah sekaligus meningkatkan skill seperti sabetan, catur dan suluk untuk lebih memikat penonton. Para dalang muda ini juga memiliki siasat tersendiri agar pagelaran wayang kulit tidak terdegradasi.
“Biasanya campursari dan lawakan ditampilkan setelah tiga perempat alur cerita wayang berjalan, sehingga penonton bisa memahami lakon yang dibawakan oleh dalang,” terangnya.
Hazil juga menceritakan bahwa Kodrat meruapakan komunitas yang beranggotakan sekitar 25 dalang remaja di Tulungagung. Dalam komunitas ini mereka bisa saling tukar pengalaman dan pengetahuan.
“Tujuannya hanya satu, untuk terus melestarikan serta mempertahankan seni wayang kulit,” imbuhnya.
Fenomena pagelaran wayang kulit tersebut juga mendapatkan tanggapan dari Ki Budi Pladang, Mantan Ketua Persatuan Pedalang Indonesia (Pepadi) Tulungagung. Menurutnya, dalang remaja di Tulungagung sudah memiliki keahlian yang lebih bagus daripada seniornya.
“Dalang remaja itu membawakan lakon yang sesuai dengan usianya. Ini merupakan hal bagus dalam dunia wayang kulit. Kemampuan mereka harus terus diasah, agar pegalaran wayang kulit bisa tetap eksis,” ujar Ki Budi Pladang.
Penulis: Setiawan
Editor: Novira