Bacaini.ID, KEDIRI – Sejarah perlawanan rakyat kecil atau rakyat jelata memiliki peran penting dalam masa pra kemerdekaan Indonesia.
Dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat lokal begitu signifikan. Namun kiprahnya tidak banyak diulas di dalam catatan sejarah Indonesia.
Sejarah Indonesia lebih banyak menuliskan peranan tokoh, pemimpin, dan elit politik. Peranan rakyat jelata dalam perjuangan terkesan dikesampingkan.
Alasan Perlawanan Rakyat Kecil Terlupakan
Perlawanan yang dilakukan rakyat kecil, meskipun memiliki dampak besar cenderung tak populer dan seringkali dilupakan.
Berikut alasan kenapa terjadi demikian.
• Tidak tercatat resmi, karena banyak dilakukan oleh petani, nelayan, atau masyarakat desa yang minim akses literasi.
• Dianggap perlawanan lokal, padahal perlawanan kecil-kecil inilah yang perlahan melemahkan kekuasaan kolonial.
• Narasi sejarah fokus pada elite, historiografi kolonial dan nasional cenderung menyoroti tokoh besar, bukan gerakan rakyat biasa.
Gerakan Perlawanan Rakyat Kecil di Indonesia
• Pemberontakan Petani Banten (1888)
Pemberontakan Petani Banten tahun 1888, juga dikenal sebagai Geger Cilegon.
Merupakan peristiwa perlawanan petani di Cilegon, Banten, terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Wasyid, seorang tokoh agama, dan terjadi pada tanggal 9 Juli 1888.
Pemberontakan petani di Banten dipicu penderitaan akibat sistem tanam paksa dan pajak tinggi.
Ribuan petani mengangkat senjata dengan bendera agama sebagai pemersatu. Meski dipadamkan dengan brutal, perlawanan ini menunjukkan kekuatan solidaritas rakyat desa.
• Gerakan Samin di Jawa Tengah
Tokoh Samin yang memimpin gerakan melawan penjajah adalah Samin Surosentiko, yang merupakan keturunan dari Kanjeng Pangeran Arya Kusumaningayu.
Gerakan Samin Surosentiko melawan kolonialisme bukan dengan perang, namun dengan pembangkangan sipil, menolak bayar pajak, tidak mau bekerja rodi, dan tetap menjaga tanah leluhur.
Gerakan ini menjadi cikal bakal resistensi non-kekerasan di Indonesia.
• Perlawanan Nelayan Buton dan Maluku
Di wilayah timur, banyak nelayan melawan monopoli perdagangan ikan dan rempah oleh VOC.
Meski tidak pernah dicatat sebagai ‘perang besar’, perlawanan mereka membuat VOC harus berulang kali mengubah strategi dagang.
Perlawanan ini muncul sebagai bentuk upaya mempertahankan kedaulatan, kebebasan, dan kesejahteraan rakyat dari tekanan asing.
Buton, yang merupakan kesultanan dengan posisi strategis, sering terlibat dalam konflik dengan bangsa asing, terutama Portugis dan Belanda karena praktik monopoli yang merugikan rakyat.
Perlawanan rakyat Buton dan Maluku beragam, mulai dari pertempuran laut seperti Pertempuran Pulo Buton melawan Portugis, hingga perlawanan bersenjata melawan Belanda.
Selain itu, terdapat juga perlawanan sosial seperti penolakan terhadap kebijakan pajak yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Indonesia Memiliki Akar Sejarah Perlawanan Rakyat Kecil
Perlawanan rakyat kecil bukanlah hal baru bagi Indonesia.
Jika beberapa waktu yang lalu terjadi demontrasi besar-besaran warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah untuk menentang kenaikan pajak, maka sejarah bangsa telah mencatat hal sama di masa lalu.
Berikut alasan gerakan rakyat menjadi bagian dari sejarah perlawanan:
• Identitas bangsa, perlawanan rakyat kecil menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan hanya hasil perjuangan elite, tapi juga jerih payah masyarakat bawah.
• Inspirasi, aksi-aksi kecil namun konsisten bisa jadi kekuatan besar melawan penindasan.
• Keadilan sejarah, memberi tempat bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (1966) menunjukkan betapa pentingnya melihat sejarah dari bawah, history from below.
Begitu juga penelitian James Scott dalam Weapons of the Weak yang menekankan bahwa resistensi rakyat kecil, meski tampak sepele, punya dampak besar dalam jangka panjang.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif