Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai dinasti politik yang dihadapi saat ini bukan dalam konteks hak asasi warga negara atau akses terhadap politik dan kepemiluan, namun lebih kepada politik dinasti yang cenderung destruktif.
Member Perludem, Titi Anggraeni mengatakan ada empat faktor yang berkontribusi terjadinya politik dinasti yang destruktif. “Pertama adalah kaidah hukum yang memungkinkan itu terjadi,” kata Titi dikutip dari laman https://perludem.org
Menurutnya besaran ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara sah, berkontribusi terhadap kemungkinan terjadinya politik dinasti atau kekerabatan. Tingginya besaran ambang batas membuat adanya akses yang terbatas di dalam proses pencalonan Pilkada.
Kemudian Titi menjelaskan, dipersulitnya syarat calon perseorangan untuk bisa maju dalam pilkada juga menjadi penyebab munculnya dinasti politik. Padahal keberadaan calon perseorangan dinilai penting untuk menghadirkan calon alternatif.
Terbaru, Mahkamah Konstitusi telah merevisi batasan ambang batas menjadi lebih rendah.
Faktor kedua, yang juga berkontribusi terhadap terjadinya politik dinasti yang dekstruktif yaitu kelembagaan partai politik yang belum demokratis. Titi menganggap rekrutmen calon kepala daerah cenderung elitis, yang keputusannya diambil oleh hanya segelintir orang saja di partai politik.
Ketiga, yaitu mahalnya biaya politik juga ikut berkontribusi menghadirkan politik dinasti. Selain itu praktek mahar politik atau jual beli tiket pencalonan juga ikut menyumbang terjadinya politik dinasti.
Faktor keempat yaitu rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengevaluasi politik dinasti. Hal itu lantaran pendidikan pemilih dengan pendidikan politik belum berjalan secara optimal.
Penulis: Hari Tri Wasono