Perjalanan nasib Kholid Mustofa benar-benar mirip Roller Coaster. Jauh sebelum menemukan nasib di sektor coklat, pria asal Blitar, Jawa Timur ini sempat putus asa saat usaha peternakan ayam miliknya hancur digulung virus flu burung tahun 90-an silam. Sebagai peternak berskala kecil, Kholid tak mampu mengejar biaya perawatan unggas yang jauh di atas omzet usahanya. Hanya segelintir peternak besar dengan modal miliaran yang mampu bertahan melewati pagebluk itu.
Gulung tikar dan tak memiliki modal lagi memaksanya pulang ke rumah mertuanya di Desa Plosorejo, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Di tempat ini, Kholid kembali didera musibah setelah mengidap penyakit kuning yang cukup parah. Penyakit ini juga menghempaskannya ke tempat tidur dalam waktu lama hingga tak bisa bekerja sama sekali.
Usai menjalani pengobatan panjang dan kembali beraktivitas, Kholid tak cukup punya kekuatan untuk bangkit. Selain keuangan yang terkuras untuk pengobatan, kemampuan fisiknya juga terbatas akibat penyakit itu. “Setiap hari saya hanya duduk-duduk di pekarangan belakang rumah mertua,” katanya.
Di kebun belakang yang ditumbuhi tanaman kakao itulah Kholid kerap menghabiskan waktu merenungi nasib. Sesekali dia memungut buah kakao yang jatuh ke tanah sebelum membuangnya lagi. Kala itu dia benar-benar tidak tahu manfaat buah kakao yang ditanam ala kadarnya oleh bapak mertuanya.
Banyaknya buah kakao yang berguguran mengusik pemikiran Kholid untuk menjualnya. Dia hanya sayang jika buah-buah itu jatuh dan membusuk tanpa dikelola sama sekali. Hingga pada suatu ketika Kholid memberanikan diri berkenalan dengan pedagang kakao yang menunjukkan keberadaan pengepul biji coklat di Malang. “Kala itu tidak banyak yang mau membeli kakao karena bukan komoditas laku,” katanya.
Bermodal sepeda motor butut sisa usahanya beternak ayam, Kholid nekat membonceng karung berisi penuh buah kakao yang rontok di kebun mertuanya ke Malang. Di tempat itu, Kholid merasa mendapat mukjizat setelah pengepul itu membeli seluruh kakaonya seharga Rp 9.000 per kilogram. Jumlah yang cukup besar dan tak dibayangkan Kholid sebelumnya.
Tak puas mendapat harga tersebut, Kholid mencari tahu keberadaan pengepul di Surabaya yang konon mau membeli dengan harga lebih. Tetap bermodal sepeda motor, Kholid menyusuri jalanan panas Surabaya menuju Pelabuhan Tanjung Perak. Di sanalah pengepul kakao berada dan siap mengekspor ke luar negeri. “Alhamdulillah, saya langsung mendapat kontrak memasok dua ton coklat per bulan dari seorang pengepul Surabaya,” kisahnya.
Merasa tak mampu memasok coklat sendirian, Kholid berkeliling menggunakan sepeda motor mencari petani coklat. Kala itu upaya tersebut kerap mendapati jalan buntu akibat kurang populernya tanaman ini. Bahkan di tahun 2006 – 2007, kampanye Kholid untuk mengenalkan coklat dengan membagikan benih gratis masih diacuhkan petani. Mereka menganggap komoditas ini tak menjanjikan apa-apa.
Tak patah arang, Kholid terus menggenjot produksi tanaman di lahan mertuanya. Pengetahuan soal coklat didapat dari berbagai tempat seperti Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XII di Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar.
Kala itu dia rela menjadi pekerja tanpa dibayar asal mendapat pengetahuan budidaya kakao. Pengetahuan serupa juga ditempa saat mendatangi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember demi mendapat ilmu baru.
Perjuangan itu tak sia-sia. Seiring makin populernya komoditas coklat, Kholid mulai dikenal sebagai pengepul biji coklat dari ribuan petani di Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Bali. Selain daya tampungnya yang tak terbatas, harga pembelian yang ditawarkan kepada petani yang tinggi membuatnya tak pernah sepi memperoleh pasokan.
Di Kabupaten Blitar saja, sebanyak 7.000 lebih petani coklat yang menggantungkan penjualan panennya kepada Kholid. Mereka menggarap tanaman coklat di lahan seluas 4.000 hektar di 22 kecamatan Kabupaten Blitar yang disetor kepada Koperasi Guyub Santoso, sebuah wadah usaha bagi petani coklat Blitar yang dirintis dan bermarkas di rumah Kholid
Sadar dengan lapangnya peluang pasar coklat ini, Kholid mulai merintis usaha pengolahan coklat menjadi makanan siap saji. Melalui proses uji coba berkali-kali dengan “membajak” seorang tenaga ahli dari perusahaan pembuat coklat batangan terkenal di Indonesia, Kholid sukses menciptakan produk olahan coklat. Diantaranya coklat batangan, coklat cair siap seduh, hingga brownis coklat yang semuanya diberi label Gusan, singkatan dari Guyub Santoso, koperasi tempat para petani coklat Blitar bernaung. Produk ini diklaim sebagai satu-satunya coklat olahan dari biji coklat asli Indonesia.
Harganyapun tak dibanderol mahal seperti coklat pabrikan macam Silverqueen dan Cadbury yang lebih dulu menguasai pasar domestik. Selain lebih murah, produk coklat Gusan juga diklaim jauh lebih sehat karena tak menggunakan bahan campuran apapun selain coklat murni. “Bagi yang terbiasa mengkonsumsi coklat pabrik, rasanya sedikit lebih pahit karena tak menggunakan pemanis,” terang Kholid.
Untuk mendongkrak penjualan produk ini, Kholid menyulap rumahnya menjadi tempat agro wisata coklat yang diberi nama Kampung Coklat. Di lahan seluas 2/3 hektar milik mertuanya, kampung wisata ini dibangun.
Selain menawarkan aneka produk makanan dan minuman coklat, tempat ini juga menyediakan edukasi soal budidaya tanaman kakao dan teknik pengolahan menjadi bahan siap saji. Ratusan warga desa sekitar sukses direkrut menjadi pekerja di tempat ini.
Setiap hari jumlah kunjungan wisatawan dari dalam dan luar negeri memadati tempat ini. Tak hanya untuk berbelanja, mereka juga ingin mencecap pengetahuan soal coklat. Meski sukses menapak puncak usaha, Kholid tak pernah menyembunyikan masa lalu. Kepada siapapun pria yang aktif di organisasi Nahdlatul Ulama ini meminta untuk tak pernah menyerah sesulit apapun situasi yang dihadapi. (*)