Bacaini.id, KEDIRI – Kasus pelecehan atau kekerasan seksual terhadap anak bawah umur kian marak. Pelakunya adalah orang dekat korban yang tidak pernah dicurigai.
Belum reda kasus pelecehan seksual yang dialami sejumlah santriwati di Jombang oleh pengasuhnya, disusul dengan kekerasan seksual di sekolah Selamat Pagi Indonesia Kota Batu, kasus serupa muncul di Kota Kediri. Tak hanya satu, tetapi tujuh siswa menjadi korban asusila guru sekolah yang dipercaya menjadi orang tua di sekolah.
Psikolog Vivi Rosdiana mengatakan, tindakan pelecehan seksual pada anak lebih sering dan rentan dilakukan oleh orang dekat atau orang yang dikenal. “Pelaku pasti mengenal korbannya,” kata Vivi kepada Bacaini.id, Selasa, 26 Juli 2022.
baca ini Buntut Kasus Guru Cabul Kantor Dindik Diluruk Pendemo
Vivi menjelaskan, dari aspek psikologis, batas toleransi antara orang yang sudah saling kenal akan semakin rendah. Artinya, semakin dekat hubungan seseorang, semakin rendah pula batas toleransinya.
Misalnya, ketika seseorang bersenggolan fisik dengan orang yang tidak dikenal, terlebih lawan jenis, akan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Berbeda jika kontak fisik itu terjadi dengan orang yang dikenal atau dekat akan dianggap wajar. “Itulah yang dimaksud dengan batas toleransi,” kata Vivi.
Selain itu, faktor kedekatan juga akan menurunkan tingkat kewaspadaan seseorang. Jika dikaitan dengan tindak asusila yang dilakukan guru kepada murid, tingkat kewaspadaan murid kepada gurunya juga bisa dipastikan menurun. Terlebih lagi relasi murid yang yang cenderung sub ordinat terhadap guru akan memudahkan pelaku untuk ‘menguasai’ korban.
“Apapun yang dikatakan atau diutarakan oleh guru, murid pasti nurut. Mereka juga pasti takut kalau tidak mau menurut,” jelas Vivi.
Sebagai upaya meminimalisir potensi pelecehan seksual pada anak, Vivi menekankan pentingnya peran keluarga. Anak-anak harus mendapat pelajaran seksual sejak dini untuk memahami situasi yang mengancam mereka. Hal ini bisa dilakukan kepada anak dengan usia minimal 2-3 tahun dengan bahasa yang mudah dipahami.
Misalnya, mengajarkan anak untuk menutup pintu saat buang air atau mandi. Menumbuhkan rasa malu terhadap bagian-bagian tubuh jika dilihat orang, dan semacamnya.
Jika sudah memahami hal-hal dasar, bisa dilanjutkan dengan menjelaskan perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan secara fisik. Tegaskan bahwa tidak semua orang boleh memegang bagian tubuh mereka. “Sex education ini harus dilakukan secara bertahap seiring bertambahnya usia mereka, jadi sekali lagi berikan pemahaman dengan bahasa anak atau sesuai usia mereka,” kata Vivi.
Dengan memberikan contoh kecil sejak dini, hal itu akan menjadi kebiasaan saat keluar rumah. Orang tua tidak perlu ragu untuk mewanti-wanti anaknya jika di luar sana ada banyak orang jahat. Itu akan membuat mereka mengerti bagaimana cara menjaga diri saat sedang tidak bersama dengan kedua orang tuanya.
“Masuk usia sekolah, proteksi yang dilakukan orang tua menjadi lebih sempit. Anak-anak akan lebih sering beraktivitas di luar rumah, jadi mereka sudah harus bisa menjaga diri sendiri. Maka itulah pentingnya menanamkan sex education sejak dini,” tandasnya.
Penulis: Novira
Editor: HTW
Tonton video: