Bacaini.id, KEDIRI – Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia makin marak seiring perkembangan teknologi. Ironisnya, aktivitas ilegal ini rentan memicu terjadinya eksploitasi seksual anak.
Merespon ancaman ini, Yayasan Lembaga Perlindungan Anak (YLPA) Kota Kediri menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak.
“FGD ini menjadi bagian dari upaya pencegahan dan penanganan anak yang berhak mendapatkan perlindungan khusus,” kata Koordinator Dewan Pengawas YLPA Kota Kediri, Heri Nurdianto di Ruang Kilisuci Balai Kota Kediri, Kamis, 28 September 2023.
Menurutnya, TPPO merupakan tindak pidana extra ordinary yang butuh penanganan banyak pihak. Sementara masih banyak masyarakat yang belum begitu memahami terkait dengan apa tindak pidana perdagangan orang.
Heri mengatakan perdagangan orang sangat rentan berdampak pada anak. “Orang tua yang jadi korban TPPO karena kebutuhan finansial. Bisa jadi secara sosial, secara finansial, anak ini akan ikut jadi korban. Jadi ada korelasinya antara TPPO ini dengan perlindungan anak,” imbuhnya.
Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), Siti Mazumah menyebut ada banyak faktor pemicu tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak-anak atau remaja.
Di usia itu, mereka lebih berpotensi menjadi target karena masih polos sehingga lebih mudah ditipu. Kecanggihan teknologi menjadi faktor pendukung yang mempermudah pelaku untuk mencari sasaran.
“Sekarang banyak pelaku TPPO yang memanfaatkan fasilitas media sosial untuk melakukan perekrutan. Bahkan dari pertemanan terdekat saja, anak-anak ini bisa menjadi korban,” jelas Siti Mazumah.
Mirisnya lagi, anak-anak maupun remaja yang awalnya menjadi korban, pada akhirnya bisa menjadi pelaku perdagangan orang. Biasanya mereka dipaksa hingga diancam agar mau melakukan perekrutan dengan cara yang sama, melalui media sosial.
“Ada juga yang diiming-iming, kalau dia bisa merekrut teman, nanti dia dijanjikan kebebasan. Artinya anak-anak ini di posisi kesulitan untuk menolak, kena tipu daya, bahkan takut dengan ancaman pelaku,” paparnya.
Tetapi ada juga korban anak yang menjadi pelaku karena memiliki rasa simpati untuk membantu perekonomian orang tua mereka. Tidak jarang pula dari mereka yang masih memiliki banyak keinginan untuk mengembangkan diri, misalnya karena gaya hidup konsumtif.
“Kalau sudah begitu, penanganannya tidak cukup hanya dengan pembinaan yang tepat, tetapi juga monitoring secara berkelanjutan. Ini yang paling penting,” tandasnya.
Penulis: Novira
Editor: Hari Tri W