Setiap tanggal 1 Juni, negeri ini kembali menggaungkan semangat lahirnya Pancasila. Berawal dari pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang menjadi fondasi awal lahirnya sebutan Pancasila sebagai dasar negara, meskipun ide sila-sila dasar negara lebih dulu diusulkan oleh M Yamin dan Soepomo sebelum 1 Juni 1945, pemerintahan Presiden Jokowi yang didukung PDIP menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila melalui Keppres No 24 Tahun 2016.
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah, masihkah kita setia pada nilai-nilai luhur itu?
Indonesia memang bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Ia adalah negara beragama. Sayangnya, kesakralan agama di ruang publik seringkali hanya sampai di bibir sumpah jabatan: para pejabat bersumpah atas nama Tuhan dan kitab suci masing-masing, tetapi tak sedikit dari mereka kemudian terjerat korupsi, gratifikasi, bahkan pengkhianatan pada amanat rakyat. Lalu, apa makna sumpah jika hanya sebatas formalitas tanpa moralitas?
Toleransi antar umat beragama kini mulai mengkhawatirkan. Toleransi tidak hanya antar umat beragama, tetapi antar umat seagama, antara umat beragama dengan pemerintah. Perdebatan seputar istilah dalam masing-masing agama tidak sepantasnya diperdebatkan oleh antar umat beragama, sebagai contoh sebutan “kafir” atau “non-muslim” kerap jadi bahan bakar konflik antar kepercayaan padahal ini adalah istilah di internal agama Islam, sama artinya dengan sebutan internal umar Nasrani tentang “domba tersesat” bagi kaum non-Nasrani.
Ironisnya, bukan hanya antar agama yang saling silang, tapi juga dalam satu agama yang terbelah ke dalam berbagai mazhab, sekte, dan pemahaman. Toleransi yang seharusnya tumbuh dari kesadaran hidup bersama, kini terkikis oleh semangat merasa paling benar sendiri.
Keadilan hukum pun belum bisa dinikmati secara merata. Rakyat kecil kerap dihukum cepat, sementara yang berkuasa bisa menyewa waktu dengan kuasa. Fenomena “no viral no justice” mencerminkan betapa rasa keadilan hanya muncul setelah publik bersuara. Seolah hukum hanya bekerja jika sorotan kamera sudah menyala.
Mirisnya lagi, di tengah semua ini, rasa bangga sebagai bangsa mulai luntur. Banyak mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di dalam negeri dan di luar negeri pulang dengan membawa cemoohan terhadap bangsanya sendiri. Malahan menjadi pendukung perpecahan bangsa tanpa mau belajar yang obyektif sejarah bangsa dan pengorbanan para pahlawan, seperti mendukung Papua Merdeka, mendukung Aceh Merdeka, meminta referendum, dsb.
Kritik memang perlu, tapi mencintai negeri ini bukan berarti harus membencinya dulu, tetapi memperbaiki dari diri sendiri dari hal paling sepele dan sederhana, masuk dalam sistem dan memperbaiki dari dalam bukan menjadi proxy asing untuk menghancurkan bangsa sendiri.
Dan pada akhirnya, demokrasi yang dulu diperjuangkan berdarah-darah kini justru terkooptasi di ruang-ruang partai politik. Penentuan calon kepala daerah dan bahkan presiden seringkali bukan lagi cerminan kehendak rakyat, tapi menjadi keputusan mutlak seorang ketua umum partai. Demokrasi berubah wujud menjadi oligarki berseragam demokrasi. Pengurus partai politik tanpa batas masa jabatan, pengurus partai dari sanak dan famili ketua umum partai, anggota parlemen dari anak dan cucu ketua partai menjadi hal lumrah tanpa ukuran kompetensi yang memadai.
Di tengah carut-marut itu semua, Pancasila tetap hadir. Diam, tapi menunggu. Menunggu generasi yang benar-benar mengamalkan sila-silanya, bukan hanya menghafalnya. Menunggu pejabat yang sungguh-sungguh mengabdi, bukan hanya bersumpah. Menunggu rakyat yang tetap bangga dan cinta tanah airnya, bukan yang meludahinya dari kejauhan. Menunggu rakyat sadar untuk mewujudkan demokrasi berkualitas dengan menolak “money politic”, tidak memilih partai yang kadernya banyak terlibat korupsi, tidak memilih kembali anggota dewan yang korup dan hanya mementingkan partai dan patuh kepada ketua partainya dibandingkan patuh kepada rakyat yang memilihnya.
Pancasila lebih dari sekadar simbol, melainkan rumah. Rumah yang seharusnya tak sekadar dikenang setiap 1 Juni, tapi dihuni dengan kesadaran, dijaga dengan keadilan, dan dipenuhi dengan cinta.
Penulis: Danny Wibisono*
*) Analis Laboratorium Big Data M-Data Analytix Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)