Bacaini.id, KEDIRI – Soekarno atau Bung Karno berandil besar dalam penyelamatan nyawa Amir Sjarifuddin atau Amir Syarifuddin dari hukuman mati militer Jepang.
Bung Karno menghormati Amir sebagai salah seorang pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia yang anti kolonialisme, imperialisme dan sekaligus muak terhadap fasisme.
“Salah seorang pemimpin kami dari gerakan bawah tanah,” begitu kata Soekarno dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007).
Amir Syarifuddin merupakan salah satu tokoh kiri Indonesia yang tangguh. Setahun sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Amir ditangkap Jepang dan Kempetai menyiksanya secara biadab.
Berminggu-minggu kepala Amir dijungkir dan dipaksa minum air kencingnya sendiri. Pada 29 Februari 1944, Jepang menjatuhkan vonis mati. Kabar yang menyedihkan bagi Bung Karno.
Pada sisi lain Soekarno takjub dengan daya tahan Amir dalam menghadapi penderitaan fisik.
“Badannya kurus seperti lidi. Orang tidak dapat percaya, bahwa seseorang masih sanggup menahan penderitaan seperti itu dan masih mungkin keluar dalam keadaan bernyawa,” ungkap Soekarno.
Soekarno merupakan salah satu petinggi PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), organ bentukan Jepang. Ia bersama Moh Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH Mas Mansoer.
Tak ingin melihat Amir Syarifuddin dihukum mati, Bung Karno dan Bung Hatta melobi Jepang. Soekarno mempertaruhkan kedudukan sekaligus keselamatannya.
“Aku merundingkan pembebasannya dengan menegaskan kepada para pejabat yang bersangkutan. Bebaskan dia atau kalau tidak, jangan diharap lagi kerja sama dari saya,” kata Bung Karno dalam Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Amir Syarifuddin menghirup udara bebas. Pada masa awal Pemerintahan Presiden Soekarno, Amir menjabat sebagai Menteri Pertahanan (14 November 1945 – 29 Januari 1948).
Amir Syarifuddin juga merupakan Perdana Menteri Indonesia yang kedua (3 Juli 1947 – 29 Januari 1948). Namun sejarah menemukan jalan takdirnya sendiri.
Pada peristiwa 18 September 1948, Amir Syarifuddin bersama Munawar Musso atau Musso memimpin pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun atau Madiun Affair.
Amir dan Musso berhadapan dengan Soekarno dan Hatta. Pada saat itu Soekarno begitu meradang dan dalam waktu cepat pemberontakan Madiun ditumpas habis.
Pada akhir November 1948, Amir Syarifuddin yang sudah tidak berkutik ditangkap TNI pasukan Kemal Idris di Desa Kelambu Purwodadi Jawa Tengah. Kondisinya mengenaskan.
“Dalam keadaan kurus dan pincang karena sedang menderita disentri,” demikian dikutip dari buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997).
Amir dibawa ke Ibu Kota Yogyakarta dengan terlebih dahulu menjalani interogasi di Kudus. Dalam perjalanan menuju Yogya, Amir Syarifuddin ditempatkan seorang diri di gerbong kereta yang sebelumnya telah dikosongkan.
Sebelum kereta berangkat, Amir menikmati bacaan kisah tragedi Romeo dan Juliet dari buku yang ia minta dari Kapten Soeharto, seorang perwira TNI yang menjaganya.
“Waktu itu, buku satu-satunya yang dimiliki Kapten Soeharto ialah Romeo and Juliet karangan William Shakespeare”.
Setiba di Yogyakarta, mantan Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri Indonesia itu diarak keliling kota sebagai pesakitan politik. Rakyat Yogya berjubel-jubel ingin melihatnya dari jarak dekat.
Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan melukiskan ketenangan sikap Amir Syarifuddin. “Ia (Amir Sjarifuddin) kelihatan tenang melihat rakyat yang berjubel-jubel di stasiun melalui jendela kereta”.
Proses hukum para tawanan politik peristiwa Madiun Affair diserahkan kepada Gubernur Militer Gatot Subroto. Pada 19 Desember 1948, Amir bersama 11 tawanan politik lain dibawa ke Solo.
Pada tengah malam di wilayah Desa Ngalihan yang berdekatan dengan Solo, Amir Syarifuddin menjalani eksekusi hukuman mati.
Sebelum peluru tentara merenggut ajalnya, pada detik-detik akhir kehidupannya Amir Syarifuddin secara lantang menyanyikan Indonesia Raya dan Internasionale.
Penulis: Solichan Arif