Bacaini.id, JAKARTA – Analis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berpandangan operasi militer adalah jalan untuk memadamkan eskalasi konflik di Papua yang kian membara.
Kekerasan yang dipamerkan kelompok OPM (Organisasi Papua Merdeka) di platform media sosial, sudah keterlaluan. Mereka bukan lagi sekedar mengancam keamanan, melainkan ancaman kedaulatan negara.
Analis BRIN melihat operasi militer sebagai sebuah pintu yang harus dimasuki. Pertempuran dalam operasi militer akan membawa para pihak kembali duduk satu meja, melakukan dialog Papua Jilid 2.
Operasi militer juga akan membawa status penyelesaian konflik di Papua yang semula berskup lokal dan nasional meluas ke wilayah internasional.
“Operasi militer adalah salah satu cara yang harus dimasuki dulu untuk kemudian masuk ke dalam dialog Papua jilid II,” ujar Syafuan Rozi Peneliti Pusat Riset Politik BRIN kepada Bacaini.id.
Yang perlu digaristebali, operasi militer bertujuan membuka kembali meja perundingan. Sebab dialog perdamaian di Papua selama ini tidak berjalan. Tawaran dialog yang dirintis para aktivis Jakarta, oleh OPM ditolak mentah-mentah.
Mereka menjawab ajakan dialog dengan berondongan tembakan, penculikan dan mutilasi. “Posisi OPM mirip posisi Hamas yang yakin dengan kekuatan militernya,” ungkapnya.
Pada sisi lain, yakni dalam cakrawala yang lebih luas, Syafuan Rozi melihat tahun 2024 memang telah dipenuhi atmosfer perang dan kekerasan. Seolah perang telah menjadi tren penyelesaian.
Di belahan dunia seperti Negara Ukraina, Palestina, khususnya Gaza, perang telah berkecamuk. Ia menggambarkan situasi yang terjadi dengan metafora dewa Mars yang memperlihatkan kekuasannya.
Dalam kasus Papua, situasi itu menemukan kontekstualnya. Jika cara-cara damai sudah tidak bisa dilakukan, kata Syafuan maka operasi militer menjadi jalan keluar. “Kelihatannya nafas tahun-tahun ini adalah nafas perang dan kekerasan,” terangnya.
Lebih jauh mengidentifikasi gerakan OPM, analis BRIN melihat OPM serupa GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan RMS (Republik Maluku Selatan). Kendati demikian ada perbedaan yang membuat pendekatannya tidak sama.
Yang membuat berbeda, OPM tidak terdapat satu garis koordinasi atau komando yang tegas. Syafuan mencontohkan kasus GAM. Acapkali terjadi kekerasan, kelompok internasional di GAM bisa mengambil kendali.
Pada kasus Aceh, pendekatan bilateral antara Jakarta dan Aceh bisa berjalan dengan baik. Termasuk ketika terjadi peristiwa tsunami di Aceh, pintu dialog perdamaian semakin terbuka lebar.
Situasi itu, kata Syafuan tidak ditemukan pada kasus Papua. Kelompok OPM internasional yang berada di Belanda dan Inggris, faktanya tidak bisa menghentikan kekerasan yang terjadi di lapangan.
Hal itu sekaligus bukti OPM tidak sesolid GAM. Terdapat banyak kelompok di OPM, yakni kelompok lokal dan internasional. Sejumlah kelompok dispekulasikan sengaja memakai strategi mengulur jangka panjang.
“Dialog Papua memakai cara Aceh ternyata tidak bisa bertemu. Tidak bisa mempertemukan kelompok OPM dan Jakarta dalam satu meja,” jelasnya.
Operasi militer akan membuat status konflik di Papua berskala internasional. Menurut Syafuan, hadirnya pihak ketiga, yakni asing sebagai penengah atau negosiator dalam konflik, justru yang diharapkan.
Sebab hal itu akan memuluskan jalan untuk duduk satu meja, mendialogkan perdamaian Papua jilid II. Memang, kata Syafuan akan muncul juga wacana refrendum yang selama ini dicemaskan.
Namun Papua tidak sama dengan kasus di Negara Ceko dan Slovakia atau Kanada, di mana tidak ada persoalan disparitas. Sementara kasus di Papua lebih terkait disparitas.
Penyelesaian konflik di Papua diakui memang penuh dilema. Untuk bisa mengajak para pihak duduk bersama dan berdialog, harus terlebih dulu menggelar operasi militer yang memakan korban.
Sementara saat para pihak duduk bersama, pemerintah bisa belajar dari pengalaman Aceh, yakni untuk merangkul semua pihak, ditawarkan tuntutan atau MoU yang selama ini belum terpenuhi.
“Status internasional memungkinkan kita duduk satu meja. Status internasional memang berpotensi menjadi referendum atau MoU. Dan jangan pernah pilih opsi referendum,” pungkasnya. (bersambung)
Penulis: Danny Wibisono
Editor: Solichan Arif