Jika banyak sandal berserakan di depan kamar dan tak terdengar suara, jangan masuk.
“Ron, nanti malam acara yuk, di kosanmu. Aku ada barang baru,” bisik Wahyu dari bangku belakang. Dosen pengajar Filsafat Hukum sempat menoleh ke arah kami saat Wahyu menyorongkan mulutnya ke telingaku. Aku tak menjawab, hanya mengacungkan ibu jari tanda setuju.
Usai jam kuliah berakhir, buru-buru kutoleh ke belakang. Memastikan informasi yang disampaikan Wahyu. Temanku yang satu ini dikenal memiliki koleksi VCD porno cukup banyak. Sebagian besar Asia, mulai Thailand, China, dan Jepang.
Dengan muka mesum, Wahyu membuka resleting tasnya dan menunjukkan dua keping VCD dengan gambar perempuan Jepang. Senyumnya melebar, “Hehe……sip kan”. Aku mengerling.
Tanpa dikomando kami segera berpencar mencari anggota. Aku menghubungi Rudi, Soni, Irwan, Putut, dan Eko. Sedangkan Wahyu mengontak Kus, Ruly, dan Bancet. Nama terakhir memiliki kesamaan dengan kodok. Bukan hanya julukan, tetapi perilakunya yang suka lompat sana sini berganti-ganti pacar.
Seperti panitia tujuh belasan, kami berbagi tugas. Rudi dan Soni menarik iuran untuk menyewa VCD player. Sedangkan Irwan dan Eko membeli gorengan. Sisanya kebagian tugas doa dan penutup agar acara bisa digelar tanpa halangan apapun.
Kamarku dipilih sebagai lokasi nobar karena dilengkapi TV 14 inch. Di tahun 1996, mahasiswa yang memiliki TV di kamar kosnya bisa dihitung dengan jari. TV merek Sharp yang ada di kamarku juga bukan pemberian orang tua. Melainkan hasil gadai teman kos yang kehabisan uang karena diperas pacarnya yang matre.
Menjelang jam pemutaran film dimulai pukul 20.00 WIB, satu per satu jamaah bokep mulai datang. Belakangan Bancet menambah satu peserta lagi, namanya Ardian. Aku sempat kaget saat Bancet mengatakan Ardian ingin bergabung. Setahuku Ardian seorang yang alim, aktivis di organisasi mahasiswa, dan dikagumi banyak mahasiswi berjilbab. “Beneran Ardian ikut, wah jadi gak enak nontonnya,” kataku.
“Udah tenang saja, dia juga sering nonton. Kebetulan dia suka Jepang,” kata Bancet sambil membuang puntung rokok ke sudut kamarku. Kampret.
Sebagai tuan rumah, aku memastikan semua tamuku nyaman. Perabot yang berserak kusingkirkan di bawah kasur. Kecuali sprei yang justru kulepas dan kulipat rapi di dalam lemari. Bukan apa-apa, takut terjadi sesuatu dan harus mencuci.
Kami berdelapan sudah standby di tempat masing-masing. Menunggu kedatangan Rudi dan Soni yang menyewa VCD player. Rental VCD player cukup murah, apalagi ditanggung berjamaah. Yang mahal adalah biaya malu saat terpergok teman kampus. Dag dig dug kami menunggu.
Lima menit berikutnya suara knalpot Suzuki Crystal milik Soni yang cempreng terdengar teduh. Menandakan acara nobar segera dimulai. Cihuy.
Tanpa basa basi Soni melakukan tugasnya memasang instalasi VCD player ke TV. Kami sempat galau saat beberapa kali dicoba tak mengeluarkan gambar. Hanya suara ah uh yang terdengar ritmis khas Jepang. “Kabelnya kebalik itu,” celetuk Bancet dengan suara tinggi menahan konak.
Ikhtiar itu akhirnya berhasil. Sebagai tuan rumah, aku mendapat kesempatan terhormat sebagai pemegang remote. Ini adalah posisi tertinggi dalam jamaah bokep, di mana pemegang remote berperan vital dalam mengatur ritme nafas anggotanya. Bahkan Ardian pun harus tunduk padaku meski di kampus dia sangat dihormati.
Biar lebih syahdu, kumatikan lampu kamar, sekaligus tanda dimulainya nokep (nonton bokep). Saat tayangan pembuka dimulai, nafas terasa berat. Jantung berdebar kencang. Saturasi oksigen menurun. Pelan tapi pasti, suara obrolan di antara kami makin hilang dan senyap. Semua fokus pada layar TV 14 inch yang masif menebar dosa. Larut dalam kenistaan dan kenikmatan. Berharap malaikat ikut menonton agar tak sempat mencatat kekhilafan kami.
“Assalamulaikum, Ardian di sini ya,” suara seorang perempuan dari luar kamar. Daarrrr……….Konsentrasi kami buyar. Gelagapan kuraih remote dan memasang mode PAUSE. Itu adalah tombol darurat saat situasi sedang chaos.
Belum genap otak sadar kami pulih, perempuan itu membuka pintu kamar yang lupa kukunci. Ruangan gelap yang didominasi pendaran cahaya TV menjadi obyek utama yang menyita perhatian. Perempuan itu terpekik, “Asthagfirullah”.
Kami juga terpekik, dengan intonasi sama keras meski kosakata berbeda. Perempuan itu adalah Dewi, tempat sekampus kami yang datang mencari Ardian.
Spontan Dewi menutup kembali pintu kamarku dan pergi. Ardian melompat dari tempat duduk dan buru-buru menyusul setelah mengencangkan ikat pinggang. Sayup-sayup kudengar suaranya membujuk Dewi yang merajuk. “Makanya, besok-besok kalau melihat banyak sandal dan tak ada suara, jangan masuk,” kata Ardian pada kekasihnya. (HTW*)
*)Penulis adalah jurnalis Bacaini.id