Ini kisah Komsatun, perempuan tua penjual jagung di depan Stadion Brawijaya Kediri.
Bacaini.id, KEDIRI – Malam sudah larut. Jalanan dua arah di depan Stadion Brawijaya Kediri juga mulai sepi. Bukan hanya dampak PPKM, angin malam yang menusuk memaksa siapapun berdiam di rumah.
Di tengah sepinya jalanan, seorang perempuan tua duduk bersandar sepeda. Sepasang rombong bambu melintang di atas sepeda, berisi penuh jagung rebus. Malam itu, Komsatun terlihat seperti patung, berdiri sendiri di tengah gempuran angin malam.
Perempuan berusia 60 tahun itu lekat memandang jalan yang kosong. Sudah berjam-jam dia duduk di sana, menunggu seseorang membeli jagung yang direbusnya dari rumah. Namun apa lacur, tak seorang pun yang mampir untuk membeli.
“Masih belum jam delapan, nanti pas jamnya saya pasti pulang. Siapa tahu masih ada yang beli,” kata Komsatun di bawah sorot lampu jalan, Sabtu, 24 Juli 2021.
Mengadu peruntungan benar-benar dilakukan Komsatun malam itu. Di saat pedagang jagung lain sudah pulang, nenek ini mengulur waktu. Berharap ada yang menghangatkan tubuh dengan jagung rebus.
Rombong sepedanya masih terisi penuh. Entah kenapa hari itu tak banyak yang membeli jagungnya. Padahal Komsatun sudah mulai berdagang sejak pukul 15.00 WIB.
Kawasan Stadion Brawijaya bukan menjadi satu-satunya tempat mangkal. Dari rumahnya di Kelurahan Betet, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, Komsatun menghentikan laju sepeda di kawasan Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran. Di sana dia memarkir sepeda di pinggir jalan dan menjajakan dagangan.
Setelah bertahan dua jam, Komsatun mengayuh kembali sepedanya menuju Stadion Brawijaya. Ini adalah tempat terakhirnya menggantungkan harapan untuk makan.
Jarak yang ditempuh Komsatun dari rumah menuju Stadion Brawijaya tidaklah pendek. Rombong jagung yang dibonceng menambah beban sepeda bututnya yang susah dikayuh. Terhitung lima kilometer jarak yang harus ditempuh Komsatun dari rumah menuju tempatnya berjualan.
“Sekarang sudah tua, makin terasa berat. Sebentar-sebentar minggir, berhenti. Kaki sudah tidak bisa diajak kerja,” katanya.
Perjuangan Komsatun menjual jagung makin keras ketika hujan turun. Di saat pedagang lain memilih berteduh, Komsatun justru bertahan di pinggir jalan menanti pembeli. Dia tak mau melepas rejeki dari pembeli yang mengusir dingin dengan menyantap jagung. Tubuh rentanya hanya dibalut mantel plastik dan caping lebar untuk berlindung dari guyuran hujan.
Tulang Punggung
Di usianya yang sudah renta, Komsatun justru menjadi tulang punggung bagi keluarga. Sepeninggal suaminya, Komsatun menjalankan sendiri bisnis jagung rebus sendirian. Mulai membeli jagung, merebus, hingga menjualnya di pinggir jalan.
“Saya tinggal dengan cucu yang masih kelas satu SMP. Ibunya sudah meninggal, bapaknya kerja ke Malaysia dan tidak ada kabarnya,” tutur Komsatun.
Pandemi yang menggulung aktivitas pendidikan menjadi beban tambahan baginya. Cucunya membutuhkan telepon seluler dan paket data untuk belajar. Bagaimapun caranya, Komsatun berjuang keras memenuhi kebutuhan itu.
Di luar mereka, Komsatun juga memiliki dua anak yang sudah berkeluarga. Namun kehidupan ekonomi mereka juga tak lebih baik.
“Kadang datang ke rumah, inguk-inguk. Kalau ada rejeki saya dikasih. Kalau lagi sepi begini ya, masih minta saya juga. Anak saya buka kios di depan rumah, pas korona sepi, sama saja,” keluhnya.
Sebelum pandemi mendera, Komsatun bisa menjual sedikitnya 60 buah jagung rebus. Namun sejak pandemi berlangsung, 40 jagung yang dia bawa kerap dibawa pulang kembali. Meski harganya cukup murah, yakni Rp 3 ribu per biji, namun terasa berat bagi pelanggannya yang juga terpukul ekonomi.
“Masih bersyukur diberi kesehatan. Kalau sakit tidak bisa kerja,” katanya.
Penulis: Novira Kharisma
EditorL HTW
Tonton video: