Bacaini.ID, BOJONEGORO – Peristiwa kecelakaan kerja yang menewaskan pekerja konstruksi dalam pembangunan kantor DPRD Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur, disorot.
Masalah itu mencuat dalam masa kampanye dan sosialisasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional sejak tanggal 12 Januari hingga 12 Februari 2025.
Insiden yang berakibat hilangnya nyawa buruh bangunan dinilai tidak mendapat perhatian wakil rakyat, sekaligus memperlihatkan murahnya nyawa buruh di Bojonegoro.
Arif Rahmanto, Ketua Serikat Buruh Konstruksi Indonesia Kabupaten Bojonegoro (SBKI Bojonegoro) menilai ada sesuatu yang ganjil dalam insiden itu.
“Kami merasakan kejanggalan dan keanehan pada kasus ini”, ungkap Arif Rahmanto seperti rilis yang diterima Bacaini.ID Jumat (14/2/2025).
“Seyogyanya DPRD sebagai institusi yang mewakili rakyat, pro-aktif menangani masalah ini. Bukankah yang meninggal adalah rakyat Bojonegoro? Lokasi kecelakaan kerjanya bahkan di dalam rumah wakil rakyat ini,” tambahnya.
Korban diketahui bernama Khoirudin warga Desa Kanten Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro.
Yang bersangkutan tewas akibat tersengat listrik saat mengerjakan proyek pembangunan komplek perkantoran DPRD Kabupaten Bojonegoro.
Dalam peristiwa kematian itu, Arif Rahmanto tidak melihat adanya upaya pengusutan yang kompeherensif.
Misalnya memanggil pihak terkait yang bertanggung jawab terjadinya insiden kecelakaan kerja yang telah merenggut nyawa.
Alih-alih memanggil semua pihak terkait. Yang ada hanya keterangan anggota DPRD yang terkesan hanya formalitas dan lebih bersifat personal.
“Itupun tidak bisa dianggap sebagai pandangan atau sikap institusi namun personal saja,” tegasnya.
Menurut Arif pemberi kerja harus bertanggungjawab secara penuh, bukan hanya sebatas mengurusi keluarnya hak dari BPJS Ketenagakerjaan.
Namun juga memastikan keluarga yang ditinggalkan mendapat jaminan perlindungan dan penghidupan yang layak sampai mampu secara mandiri.
Dalam peristiwa itu para istri buruh rentan mengalami degradasi sosial dan ekonomi karena mendadak menjadi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) tanpa kesiapan.
Dalam situasi seperti itu, kata Arif pemerintah harus hadir. Karena tidak jarang lantaran terbatasnya pengetahuan dan wawasan, anggota keluarga dan masyarakat cenderung takut.
Mereka kemudian menerima tawaran damai dari pihak pemberi kerja tanpa mengetahui hak yang seharusnya diterima pihak korban.
“Kami akan terus memantau dan berkoordinasi dengan multi pihak untuk memastikan hak korban dan keluarganya benar-benar didapatkan secara layak dan semestinya,” pungkasnya.
Seperti diketahui, sesuai data yang dihimpun, saat ini ada sebanyak 1700-an perusahaan di bidang konstruksi di Kabupaten Bojonegoro.
Hingga tahun 2025, tercatat sebanya 30.000 buruh konstruksi bekerja di berbagai proyek infrastruktur di Bojonegoro.
Angka tersebut belum termasuk buruh konstruksi informal yang jumlahnya diperkirakan sebanding dengan buruh konstruksi formal.
Dari pantauan SBKI Bojonegoro jumlah serapan tenaga kerja konstruksi tidak sebanding dengan kualitas lingkungan kerja, terutama pada aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi.
Terungkap masih sedikit perusahaan yang mematuhi Sistem Manajemen K3 (SMK3) Konstruksi.
Penulis: Solichan Arif