Bacaini.ID – Koalisi Indonesia Maju (KIM) sukses mengantarkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memenangkan Pilpres 2024. KIM terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat serta 4 parpol non parlemen.
Wajar jika success story itu dispekulasikan banyak pihak bakal diperpanjang pada Pilkada serentak 2024: Diikuti oleh 37 provinsi dan 508 kabupaten dan kota se Indonesia.
Yang pertama, jarak waktu antara Pilpres dan Pilkada serentak tidak terpaut jauh. Kata pedagang cakue, belum lama dientas dari penggorengan, masih hangat.
Yang kedua, isyarat oposisi yang diperlihatkan PDI Perjuangan (PDIP) dari hari ke hari kian mengental. Pasca keok di Pilpres 2024, para elit politisi PDIP diketahui berubah offensif.
Berpijak dari itu, PDIP hampir pasti akan bertarung di Pilkada serentak, yakni ada maupun tidak ada sekutu. Siapapun jago yang diusung KIM, PDIP akan mengambil posisi diametral, berhadap-hadapan.
Terutama di daerah-daerah yang jadi prioritas, perlawanan akan berlangsung sengit. Salah satunya adalah Kota Blitar tempat di mana sang Proklamator Soekarno atau Bung Karno bermakam. Ada keharusan PDIP menang.
Apalagi dalam sejarahnya PDIP tidak pernah kalah dalam pertarungan Pilkada Kota Blitar. Mulai awal pasca reformasi, posisi Wali Kota Blitar diketahui tidak pernah bergeser dari kader banteng moncong putih.
Sebut saja Wali Kota Blitar Djarot Syaiful Hidayat yang menjabat dua periode, kemudian digantikan Muh Samanhudi Anwar, hingga yang terakhir ini, Santoso, semuanya dari PDIP.
Pendek kata, siapapun kandidatnya, parpol pemenang Pilkada Kota Blitar tetap PDIP. Tapi tunggu dulu. Itu kemarin-kemarin. Bagaimana dengan Pilkada 2024? Apakah peluang kemenangan PDIP masih sama?.
PDIP diketahui masih memenangi Pileg 2024, termasuk di Kota Blitar. Jumlah perolehan kursi PDIP di DPRD Kota Blitar masih yang terbanyak, yakni 8 kursi dan itu sudah memenuhi syarat untuk mengusung pasangan calon sendiri.
Tapi Pilkada bukan Pileg. Treatmen politik yang dipakai juga berbeda. Apalagi di atas kertas, PDIP Kota Blitar bisa dikatakan tengah mengalami krisis kader unggulan, terutama kader muda.
Kondisi yang sama juga terjadi di PDIP Kabupaten Blitar yang lebih banyak dikuasai politisi sepuh. Sementara pada sisi lain jumlah pemilih pemula, khususnya Gen Z dan milenial kian membesar.
Lepas dari plus minus dan kontroversialnya, realitasnya hingga kini belum ada kader PDIP di Kota Blitar yang sekaliber Muh Samanhudi Anwar. Samanhudi mampu buat terobosan pendidikan gratis yang telah jadi monumental.
Juga belum ada kader dengan kharisma, intelektual dan kemampuan retorika seperti Djarot Syaiful Hidayat. Pada Pilkada 2024 ini, realitasnya PDIP resmi mengulurkan surat tugas bacawali kepada Bambang Rianto alias Bambang Kawit.
Bambang memiliki rekam jejak pernah jadi anggota DPRD Kota Blitar dan kini masih menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Timur yang akhir-akhir ini diguncang perkara korupsi dana Pokir yang kembali bergulir.
Bambang dikenal sebagai pengusaha sukses yang memiliki reputasi petarung politik yang tidak mudah menyerah, meski pada Pileg 2024 gagal melaju ke senayan.
Kalau pantas disebut kelemahan, satu di antara titik lemah Bambang Kawit adalah rekam jejak politiknya yang meloncat-loncat, yakni dari Partai Hanura, PKB dan kemudian hijrah ke PDIP.
Kasak-kusuk yang berkembang di internal PDIP, meski sudah mengantongi KTA, masih banyak yang beranggapan Bambang Kawit bukan kader murni. Konon, ada nuansa kurang rela kalau dipercaya sebagai bacawali.
Hal Itu kenapa muncul skema pertama: jika perjalanan politik Bambang Kawit di Pilkada Kota Blitar berjalan mulus, yakni mendapat rekom PDIP, maka pasangannya wajib kader murni.
Bila dinarasikan, PDIP yang mengusung Bambang Kawit, dengan atau tanpa PPP yang punya 3 kursi akan melawan KIM plus PKB. KIM yang berkoalisi dengan PKB diketahui memiliki total 14 kursi.
Perinciannya, Partai Gerindra 2 kursi, Golkar 3 kursi, PAN 3 kursi, Demokrat 1 kursi dan PKB 5 kursi. Di atas kertas dengan mengacu komposisi jumlah kursi, peluang kemenangan PDIP tidak cukup besar.
Melihat dinamika politik dan peluang yang ada, bukan hal mustahil PDIP akan menempuh skema kedua: PDIP berkoalisi dengan Gerindra, ditambah PPP melawan KIM (PAN, Golkar, Demokrat) plus PKB.
Informasi yang dihimpun, adanya skenario PDIP berkoalisi dengan Gerindra lantaran faktor makam Bung Karno. Faktor Bung Karno yang membuat Pilkada Kota Blitar 2024 mendapat perhatian dan perlakuan khusus.
Namun jika skema kedua masih belum cukup membuka peluang besar kemenangan untuk PDIP, maka dimungkinkan berlaku skema ketiga atau skema pamungkas: PDIP dan PPP berkoalisi dengan KIM plus PKB melawan bumbung kosong.
Artinya di Kota Blitar akan berlaku Pilkada paslon tunggal. Tentu saja pasangan calon yang diusung adalah paketan murni keinginan elit parpol di pusat yang dianggap mampu mengakomodir kepentingan bersama.
Jadi teringat Pilgub Jatim 2018, ketika PDIP secara mengejutkan memutuskan mengusung pasangan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Abdullah Azwar Anas, yang dua-duanya berlatar sebagai santri nasionalis.
Meski dalam perjalanannya karena sesuatu hal, Azwar Anas kemudian diganti dengan Puti Guntur Soekarno.
Penulis: Solichan Arif