Suatu kala aku mampir ke toko cat Jalan Brawijaya. Beli cat kaleng merek Pylox warna ijo pupus. Harganya 10 ribu rupiah.
Masih mengenakan seragam putih dan celana abu-abu, kubuka sepatu Warriorku dan kuletakkan di atas pagar. Sroot….sroot (kocok), sroot…sroot (kocok). Begitu seterusnya hingga sepatu warna hitam itu berubah seluruhnya menjadi ijo pupus.
Esok pagi sepatu itu sudah kering. Ready to use. Dengan girang kumasukkan kaki ke sana, mengikat kuat, dan berjalan. “Jasik, kok jadi kaku kayak sepatu robocop,” pikirku.
Baru nyadar jika sepatu berbahan kain itu berubah jadi tembok saat dicat. Beberapa garis muncul di lipatan sepatu akibat cat yang pecah. Tapi show must go on. Begini resiko seorang Lupus…..
Teror pertama muncul usai memarkir motor di samping sekolah. Anak-anak melirik sambil senyum. Aku masih pede. Lupus aja cuek pake sandal jepit ke hajatan.
Begitu masuk lorong kelas, teror makin menjadi. Ada yang nyeletuk begini, “Sepatu opo lemper”. Setannnn. Pedeku mulai goyah. Kupercepat langkah menuju kelas.
“Jancoookkk……….sepatune ijooooo,” teriak teman sebangku. Aku ikut ketawa. Kali ini Lupus benar-benar kehilangan kepercayaan diri. Ketawa dalam kepahitan.
Alhasil, hari itu kulalui dengan mengurung diri di dalam kelas. Jam istirahat kulewati dengan mengerjakan tugas sekolah……njiiirrrr. Drama banget.
Tapi begitulah Lupus. Meski menjadi korban fantasinya, tak pernah sedikitpun aku membenci Hilman, penulis novel Lupus. Lupuslah yang mewarnai masa SMA-ku dengan cerita konyolnya.
Semua episode Lupus tak ada yang kulewatkan. Apalagi kios persewaan komik dekat rumah selalu update dengan koleksinya. Kalaupun kosong atau dipinjam orang, aku sudah kenal semua kios penyewaan komik di Kediri. Mbak-mbak penjaga kios bahkan sering memberiku bonus komik dan mengembalikan Kartu Pelajar sebagai jaminan. “Bawa aja, asal jangan telat ngembalikan,” katanya.
Lupus, Boim, Gusur, Anto, Aji, Fifi Alone, Adi Darwis, dan Gito sangat melekat di otakku. Begitu juga Lulu dan Mami yang kubayangkan pake rool rambut sambil ngaduk mie instan dengan hair dryer.
Sugeng tindak Mas Hilman Hariwijaya. Karyamu melekat di hati, otak, dan sepatu Warriorku.
Penulis: Hari Tri Wasono (CEO Bacaini.id)