Bacaini.id, KEDIRI – Bertahan semalaman bersama pengungsi letusan Gunung Kelud bukan pengalaman manis. Malam terasa berjalan lambat di tengah kepanikan dan tangisan anak-anak.
Letusan Gunung Kelud yang terjadi di malam perayaan Valentine benar-benar jauh dari kasih sayang. Hiruk pikuk warga yang berjejalan di tempat pengungsian menjadi pemandangan yang memprihatinakn. Orang tua tidur beralas tikar, anak kecil meringkuk berselimut sarung, dan ibu-ibu terbaring berbantal lipatan tangan.
Di sudut ruangan orang sibuk berbagi nasi. Ada yang membawa bekal dari rumah, meski sebagian besar mengandalkan makanan dari dermawan.
Tak ada benda yang dibawa selain sebuntal pakaian yang dibungkus taplak. Letusan Gunung Kelud yang tiba-tiba membuat warga meninggalkan seluruh harta benda, termasuk motor dan ternak. Mereka berharap masih bisa mendapati rumahnya dalam keadaan utuh esok hari.
Semalaman suntuk aku tak tidur. Selain tak ada tempat untuk berbaring, tak tega rasanya meminta tempat para pengungsi yang berjubelan di lantai. Aku memutuskan bersandar di bangku, merekam setiap peristiwa yang kulihat malam itu dengan mata.
baca ini Hujan Pasir di Malam Buta
Pagi belum menjelang saat satu per satu pengungsi laki-laki mulai meninggalkan tempat. Mereka berjalan beriringan menembus gelapnya malam. “Mau kemana, Pak,” tanyaku.
“Melihat rumah, semoga tidak banyak yang rusak,” kata salah satu warga yang tinggal di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar.
baca ini Photo Story Erupsi Kelud 2014
Spontan aku berdiri mengikuti mereka. Kuraih sepeda motorku yang berubah menjadi putih karena dipenuhi pasir. Usai memakai masker, kupacu motorku pelan-pelan mengiringi para pengungsi pulang ke rumah.
Di sini baru kulihat betapa dahsyatnya letusan semalam. Rumah-rumah roboh. Semua atap bolong. Nyaris tak ada satupun bangunan utuh yang kulewati dini hari itu. Beberapa orang tampak mengais rumah mereka dengan penerangan senter.
Pemandangan lebih mengerikan makin tampak saat fajar mulai menyingsing. Desa Sugihwaras yang merupakan desa terdekat dari pos pantau Gunung Kelud berubah menjadi lautan pasir. Sebuah sepeda motor berserak di pinggir jalan. Entah dimana pemiliknya. Mungkin lari saat terdengar letusan Gunung Kelud semalam.
Makin ke atas makin parah. Rumah-rumah hancur. Termasuk warung nasi langgananku yang berjarak 100 meter dari pintu gerbang area Kelud. Tempat ini benar-benar seperti Kota Hiroshima usai ledakan bom nuklir 6 Agustus 1945. Setidaknya begitu penampakan yang kulihat dari dokumentasi foto sejarah.
Desa yang berjarak 20 kilometer dari puncak Gunung Kelud itu porak poranda. Ini lantaran material vulkanik yang terlempar dan menimpa mereka bukanlah pasir, melainkan bongkahan batu. Makin mendekati Gunung Kelud makin besar bongkahannya. Pantas saja tak ada bangunan yang selamat di desa ini usai ditimpa batuan vulkanik.
Beberapa anggota TNI tampak berjaga di perbatasan desa. Melarang siapapun untuk naik mendekati gunung. Kami menurut. Toh dari sini sudah nampak gambaran betapa dahsyatnya letusan Gunung Kelud yang terjadi puluhan tahun sekali.
“Mbahe ngamuk mbahe,” teriak seseorang dari dalam rumah penduduk. Rumah itu kacau balau. Seluruh ruangan dipenuhi kerikil dan batu yang menembus atap. Entah siapa yang dia sebut ‘mbahe’. Bisa saja Mbah Lembu Suro, tokoh dalam cerita rakyat yang dipercaya menjadi penunggu Gunung Kelud.
Lembu Suro dikisahkan sebagai perwujudan manusia berkepala kerbau. Dia adalah korban asmara Dyah Ayu Pusparani, putri Raja Brawijaya yang cantik jelita.
Karena kepincut dengan kecantikan Dyah Ayu, Lembu Suro berminat melamarnya. Sayang perwujudannya yang seperti itu membuat Dyah Ayu enggan menerima. Untuk menghindari kemarahan Lembu Suro yang dikenal sakti mandraguna, Dyah Ayu meminta sebuah syarat.
Lembu Suro diminta membuat sumur di puncak Gunung Kelud. Permintaan itu disanggupi Lembu Suro yang berangkat menggali sumur. Saat berada di dasar sumur, Dyah Ayu memerintahkan prajuritnya menimbun sumur dengan batu. Lembu Suro berteriak minta tolong namun tetap tak digubris. Di penghujung ajalnya dia mengeluarkan kutukan akan memberi petaka bagi warga sekitar Gunung Kelud.
Sebagian warga mempercayai kutukan itu. Karenanya setiap tahun mereka menggelar ritual di puncak Kelud untuk menghindarkan diri dari balak. Belakangan ritual tersebut diamini Pemerintah Kabupaten Kediri sebagai program pariwisata.
Letusan Kelud malam itu telah memberangus konsep wisata yang digagas bertahun-tahun. Seluruh infrastruktur rusak. Dana milyaran rupiah melayang diterjang hujan batu semalam. Alih-alih mengharap keuntungan wisata, pemerintah justru dihadapkan pada pembenahan permukiman penduduk dan pertanian yang porak poranda.
Mengutip penjelasan Mamay Sumaryadi, peneliti gunung api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) kepada liputan6.com, pengelola wisata gunung api harus memiliki rencana kontingensi, sebagai panduan teknis ketika bencana terjadi dan berdampak di suatu destinasi wisata.
Rencana kontingensi merupakan proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan yang kemungkinan besar akan terjadi, tetapi belum tentu terjadi.
Rencana ini dilakukan secara bersama antara lembaga dan pelaku penanggulangan bencana, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Tujuannya sebagai pedoman dalam penanganan darurat bencana, agar pada saat tanggap darurat dapat terkelola dengan cepat dan efektif, serta sebagai dasar memobilisasi berbagai sumber daya para pemangku kepentingan.
“Jadi, katakanlah dalam kondisi aman, hal itu sudah disiapkan. Namun, kira-kira terjadi krisis, sudah ada arah pengungsian ke mana, berapa fasilitasnya dan itu menjadi tanggung jawab pengelola,” kata Mamay.
Sewindu letusan Gunung Kelud telah berlalu. Hari ini masyarakat Kabupaten Kediri menunggu langkah Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana untuk membuat keajaiban di sana. Keajaiban yang menghidupi warga Kelud, dan akan dihancurkan kembali oleh Lembu Suro.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video:
Comments 1