Di balik megahnya bangunan Kediri Mall (Transmart), tersimpan jejak sejarah Kota Kediri. Sebuah legenda yang dirawat turun temurun dengan simbol Ringin Sirah.
Jauh sebelum Kediri Mall berdiri, kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Ringin Sirah. Sebutan ini diambil lantaran terdapat sebuah pohon beringin besar yang berdiri di tengah lapangan. “Pohonnya besar sekali, berdiri di selatan gedung sekolah yang sekarang digusur menjadi Kediri Mall. Dulu namanya Pasaraya Sri Ratu,” kata Hartono, warga Kelurahan Kemasan kepada Bacaini.id, Kamis 4 Februari 2021.
Lapangan Ringin Sirah cukup terkenal. Tempat itu kerap menjadi lokasi pertunjukan rakyat seperti pasar malam, wayang, jaranan, hingga pagelaran ketoprak. Siswa Budoyo adalah salah satu kelompok ketoprak yang sempat singgah di lapangan Ringin Sirah selama berhari-hari.
Menurut Hartono, pagelaran Siswo Budoyo sangat ramai dan dibanjiri penonton. Kala itu kelompok kesenian tradisional ini begitu terkenal dan memiliki penggemar dari berbagai daerah. “Pertunjukan sirkus juga digelar di sana, karena tempatnya persis di tengah kota,” sambung Hartono.
baca ini Mitos Pacaran di Goa Selomangleng Bisa Putus
Namun betapapun ramainya kegiatan di sana, tak akan mengusik area pohon beringin yang tumbuh lebat di tengah lapangan. Pohon itu tak berdiri sendiri, ada sebuah makam yang berada di bawahnya. Warga menyebutnya sebagai punden atau petilasan pendiri kawasan. Dia adalah Ki Ageng Gentiri.
Sejarahwan Achmad Fachris mengatakan, petilasan Ringin Sirah erat kaitannya dengan petilasan yang ada di puncak Bukit Mas Kumambang. Berdasarkan cerita yang berkembang, petilasan yang ada di atas bukit merupakan badan dari Ki Ageng Gentiri.
“Kenapa dinamai Ringin Sirah? Ringin itu kan pohon Bringin dan Sirah itu kepala. Menurut kepercayaan, di situ adalah tempat dimana Belanda menanam kepala Boncolono, tepat di bawah pohon Bringin, badannya dimakamkan di atas bukit Mas Kumambang,” jelas Fachris.
baca ini Kuburan Dempul Lirboyo Tempat Perjanjian Mbah Sholeh Dengan Jin
Boncolono dan Ki Ageng Gentiri adalah orang yang sama. Dia adalah pembangkang yang menolak tunduk pada pemerintahan Belanda dan kerap mencuri atau merampok harta milik kolonial. Harta itu tak dimiliki sendiri, tetapi dibagikan kepada masyarakat miskin.
Perbuatan itu tak dilakukan sendiri. Ki Ageng Gentiri mengajak temannya Tumenggung Mojoroto dan Poncolono untuk merampok. Ketiganya sama-sama tak suka melihat orang Belanda begitu kejam dan biadab terhadap warga pribumi.
baca ini Berwisata di Tempat Paling Angker di Kota Kediri
Karena dianggap meresahkan, pemerintah Belanda membuat sayembara bagi siapapun yang bisa membunuh Ki Ageng Gentiri atau Boncolono akan mendapat hadiah. Sayembara ini digelar karena pasukan Belanda selalu gagal meringkus aksi mereka.
“Karena ada hadiah, pada waktu itu banyak tokoh dan pendekar lokal yang ikut. Namun mereka juga gagal karena Ki Ageng Gentiri memiliki ilmu Pancasona yang membuatnya tidak bisa dibunuh. Kecuali kepalanya dipenggal dan dipisah dari badannya dengan batas Sungai Brantas,” kata Fachris.
Di akhir cerita, Ki Ageng Gentiri berhasil ditangkap dan dipenggal. Badannya dibuang di atas Bukit Maskumambang, sedangkan kepalanya ditanam di bawah pohon beringin. Warga menyebutnya dengan Ringin Sirah.
Sebagai sejarahwan, Fachris tak bisa memastikan apakah kuburan yang ada di bawah pohon beringin adalah benar berisi kepala Ki Ageng Gentiri. Sebab kisah yang sama juga terjadi di beberapa kota tentang sepak terjang maling yang mencuri untuk orang miskin. Bahkan di Eropa juga ada dengan tokoh bernama Robin Hood.
“Itu sebenarnya sudah masuk kategori legenda. Ini berdasarkan cerita yang berkembang sejak zaman Belanda yang terus diceritakan hingga kini. Kalau soal petilasan kan bisa saja dibuat,” katanya.
Diusulkan Jadi Ikon
Cerita Maling Gentiri in pernah diajukan menjadi ikon Kota Kediri sebagai kekayaan sejarah. Namun karena ada beberapa pihak yang tidak setuju, Pemerintah Kota Kediri akhirnya memilih cerita Panji sebagai ikon kota.
“Dahulu pernah diusulkan sebagai ikon Kota Kediri, namun tidak disetujui. Karena maling itu kan konotasinya negatif, akhirnya yang dipilih cerita Panji,” kata Fachris.
Padahal kisah Maling Gentiri di Kota Kediri adalah paling lengkap dari versi manapun di berbagai kota. Tak hanya ceritanya, di sini terdapat jejak fisiknya berupa petilasan di Bukit Maskumambang dan Kelurahan Kemasan.
Berbeda dengan jejak makam di Bukit Maskumambang yang lebih terawat dan kerap diziarahi orang, petilasan Ringin Sirah justru sebaliknya. Tempat ini bahkan tak bisa dikunjungi atau sekedar dilihat. Sebab seluruh area punden tertutup tembok tinggi dengan pintu gerbang menjulang. Gerbang besi berwarna biru muda itu juga digembok dan hanya menyisakan beberapa celah sempit untuk mengintip.
Dari lobang kecil itu nampak kondisi di dalam area punden yang kurang terawat. Seluruh area nyaris tertutup tanaman liar yang tinggi. Tampak pohon beringin besar dari kejauhan yang dikelilingi ilalang. Di sanalah kuburan Ki Ageng Gentiri berada.
“Setahu saya tidak pernah ada yang masuk sudah sejak lama. Tapi tidak tahu kalau ada yang masuk tetapi kami tidak tahu,” kata salah satu pedagang di sekitar punden Ringin Sirah.
Pelacakan digital di laman cagarbudaya.kemdikbud.go.id menunjukkan jika punden Ki Ageng Gentiri telah diusulkan sebagai cagar budaya. Karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk menjaga peninggalan sejarah tersebut, agar tak kehilangan identitas sebagai masyarakat yang memiliki keberanian melawan ketidakadilan layaknya Ki Ageng Gentiri.
Penulis: Karebet & HTW
Editor: HTW