Bacaini.id, BOJONEGORO – Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu daerah penghasil minyak bumi di wilayah Propinsi Jawa Timur. Mungkin hal itu yang membuat udara di Bojonegoro selalu terasa panas menyengat.
Pada masa kolonial Belanda, daun tembakau Bojonegoro juga tersohor seantero Pulau Jawa, selain pohon jati dengan mutu terbaik. Mungkin hanya Blora yang mampu menandingi kualitas kayu jati asal Bojonegoro.
Pada tahun 2016, Pemkab Bojonegoro menetapkan kawasan ladang minyak Wonocolo sebagai area wisata geoheritage atau Petroleum Geopark Wonocolo atau Teksas Van Java. Teksas (bukan Texas) merupakan kepanjangan dari Tekad Selalu Aman dan Sejahtera.
Yang tidak banyak diketahui, di balik pemandangan 700-an sumur minyak Wonocolo, Bojonegoro yang eksotis, tersimpan cerita perlawanan rakyat, terutama pada awal kemerdekaan Indonesia.
Mengutip dari buku Pertamina, Perusahaan Minyak Nasional (1986), komersialisasi minyak bumi di Indonesia dimulai pada tahun 1885. Hindia Belanda atau Indonesia diketahui merupakan pangkalan minyak pertama dan sekaligus tertua yang dimiliki perusahaan Royal Dutch atau grup Shell.
Penelusuran sumber minyak di Indonesia dimulai pada tahun 1871, hanya selisih 12 tahun setelah sumur minyak dunia pertama yang dibor di Pensylvania. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, produksi minyak bumi berlangsung di sejumlah kilang minyak, yakni Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan.
Di wilayah Jawa Timur, meski ladang minyak berlokasi di Bojonegoro, pengolahan minyak atau lokasi kilang minyak berada di Cepu, Kabupaten Blora Jawa Tengah. Secara geografis jarak Wonocolo-Cepu hanya sekitar 15 kilometer.
Pembangunan kilang minyak Cepu diketahui berlangsung tahun 1894 oleh Adrian Stoop, seorang bekas pegawai Aeilko Ziljker, pendiri Royal Dutch (Grup Shell) pada 16 Juni 1890. Dibanding kilang minyak Wonokromo Surabaya, kilang minyak Cepu lebih muda 4 tahun.
Yang juga perlu diketahui, bukan hanya Grup Shell, perusahaan Standar Oil of New Jersey juga masuk Hindia Belanda. Mereka mulai berbisnis minyak bumi di Indonesia pada tahun 1912 yang menggabungkan bisnis di Timur Jauh dengan Mobile untuk membentuk Stanvac.
Selain itu juga masuk perusahaan Standard Oil of California pada tahun 1930an, di mana tahun 1936 menggabungkan saham Asia-nya dengan Texaco untuk membentuk Caltex. Pada tahun 1940, tercatat lima maskapai minyak internasional telah masuk Indonesia.
Kelompok perusahaan pemburu minyak bumi ini biasa disebut gabungan Tiga Besar (Stanvac, Shell dan Caltex). Pada saat itu minyak bumi asal Indonesia menempati urutan kelima dunia dan terbesar di Timur Jauh, dengan produksi tahun 1939 dan 1940 mencapai 62 juta barrel per tahun.
Hal itu yang membuat Belanda tak ingin meluangkan kesempatan ketika Jepang kalah perang pada Agustus 1945. Kolonial Belanda di bawah komando SEAC (South East Asia Command) bergegas ingin kembali menduduki ladang minyak yang mereka tinggalkan.
Termasuk ladang minyak Wonocolo Bojonegoro yang pengolahannya berlokasi di Cepu Jawa Tengah, juga ingin segera dikuasai.
Upaya kolonial Belanda mendapat perlawanan keras dari gerakan Laskar Minyak yang dipimpin seorang pejuang lokal yang dikenal bernama Kromo Setan. “Nama aslinya tidak ada yang tahu. Dari cerita getok tular, orang-orang tua menyebutnya Kromo Setan,” tutur seorang warga Wonocolo.
Kromo atau kaum Kromo merupakan terminologi yang merujuk pada rakyat jelata, yakni buruh pabrik, buruh tani, petani kecil atau mereka yang tidak memiliki alat produksi. Kaum Kromo kerap dipersamakan dengan kaum marhaen atau proletar, lawan dari priyayi atau borjuis.
Dengan gagahnya orang-orang Laskar Minyak menduduki sekaligus mengambil alih kilang minyak yang sebelumnya dikuasai penjajah. Mereka juga berani menyita pabrik dan perkebunan yang telah ditinggalkan Jepang lantaran kalah perang.
“Mereka ini, veteran pekerja lapangan dan pengilangan di zaman kolonial dan pendudukan Jepang, mempunyai ketrampilan dan peralatan untuk mendapatkan sejumlah kecil produksi yang tersedia bagi Republik,” demikian dikutip dari buku Pertamina, Perusahaan Minyak Nasional.
Pada masa itu di Indonesia muncul tiga perusahaan minyak di bawah penguasaan Laskar Minyak, yakni di Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Ladang minyak Wonocolo Bojonegoro masuk dalam koordinasi Jawa Tengah.
Orang-orang Laskar Minyak menolak mengembalikan kilang kepada kolonial Belanda sebab pasukan republik butuh minyak tanah dan bahan bakar untuk penerbangan dan kendaraan bermotor. Termasuk ladang minyak Wonocolo Bojonegoro juga dijaga ketat.
Pada tahun 1946 berdiri organisasi Serikat Buruh Minyak (SBM) di Cepu Jawa Tengah. Sebagian besar orang-orang Laskar Minyak yang berlatar belakang pekerja kilang Cepu dan sumur minyak Wonocolo dan Kawengan Bojonegoro bergabung menjadi anggota SBM.
Pada saat itu Pemerintah Indonesia mendirikan badan yang bernama Perusahaan Tambang Minyak Nasional (PTMN). Kegiatan PTMN mengawasi kilang Cepu dan sumur minyak tua milik Shell di Kawengan dan Wonocolo, Bojonegoro.
Sementara dengan berdirinya kantor pusat PKI di Yogyakarta pada 1947, haluan politik SBM lebih condong ke kiri. SBM menjadi basis massa PKI di sektor minyak. Pada sisi lain, kawasan utara pulau Jawa ini merupakan daerah tandus dan miskin, tempat favorit PKI mengorganisir.
“Pertengahan tahun 1948, hampir setengah dari pekerja di Cepu menjadi anggota SBM yang dengan gigih mendukung FDR (Front Demokrasi Rakyat)”.
Kolonial Belanda yang kukuh ingin menguasai kembali ladang minyak, melancarkan agresi militer yang dimulai tahun 1947 dan diulang pada tahun 1949. Para Laskar Minyak yang mencoba mempertahankan ladang minyak, termasuk di Wonocolo, Bojonegoro ditumpas.
Kromo Setan dikabarkan tewas dalam serangan militer Belanda itu. Namun versi lain menyebut, gembong Laskar Minyak itu terbunuh oleh serangan pasukan Siliwangi yang menggulung pemberontakan Madiun pada September 1948.
Penulis: Solichan Arif