Bacaini.ID, BLITAR – Soekarno kembali jadi orang buangan karena dianggap membahayakan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Setelah dari Ende Flores, pada Maret 1938 Bung Karno diasingkan ke Bengkulu Sumatera. Ia ditemani Inggit Garnasih, istri tercinta.
Inggit selalu mensuport Soekarno dalam segala situasi. Membesarkan hati Kusno, begitu panggilan sayangnya, ketika terpuruk.
Ia yang menyelundupkan buku-buku di saat Soekarno meringkuk di penjara Sukamiskin Bandung.
Menjadi kurir informasi ketika Soekarno ingin tahu situasi pergerakan di luar penjara.
Begitu juga di pengasingan Bengkulu. Inggit lah yang setia menemani Soekarno.
Pada tahun 1938 Bengkulu berpenduduk 90.000 jiwa. Jumlah orang Belanda yang berada di Bengkulu sebanyak 300 jiwa.
Di Kota Bengkulu Bung Karno diperlakukan dengan baik. Pemerintah kolonial Belanda menempatkannya di rumah yang layak.
Bung Karno dibebaskan jalan-jalan ke mana disuka. Kecuali ke luar kota ia diwajibkan meminta izin terlebih dulu.
Bung Karno juga tidak dilarang berhubungan dengan para aktivis komunitas dakwah Islam yang mayoritas dari Muhammadiyah.
Pemerintah kolonial Belanda bahkan memberi tunjangan rutin berupa uang jatah bulanan yang diurus oleh Dr L.G.M Jacquet, Aspiran Kontelir BB di Bengkulu.
“Salah satu tugas Aspiran Kontelir Jacquet ialah membayarkan tunjangan bulanan (maandelijkse toelage) kepada Ir Soekarno yang berjumlah 150 gulden,” demikian dikutip dari buku Musim Berganti (1985).
Tunjangan yang diterima Soekarno tergolong lumayan. Terpaut tidak terlalu jauh dari gaji yang diterima pejabat kolonial.
Seperti Dr L.G.M Jacquet selaku pejabat HPB, menerima gaji 275 gulden per bulan. Lantaran masa krisis dan pemerintah harus berhemat, gaji dipotong 20 persen.
Setelah dipotong untuk pajak, premi pensiun dan lain-lain Jacquet hanya menerima 183 gulden.
Suatu hari Soekarno dengan gaji yang dipunyai berminat dengan piano yang sedang dilelang. Ia mengajukan kredit karena duitnya tak cukup.
Jacquet tahu kondisi keuangan Soekarno. Hutangnya masih menumpuk, terutama untuk membeli buku-buku.
Karena alasan itu ia tidak sreg mengabulkan keinginan Soekarno. Namun terpaksa dikabulkan setelah mempertimbangkan faktor politik.
“Kredit diberikan dan untungnya kekurangan bisa dilunasi”.
Soekarno menceritakan soal piano itu di buku otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adam.
Versi lain menyebut piano itu dibeli oleh Manap Sofianto, primadona tonil (sandiwara) bentukan Soekarno di Bengkulu.
Manap membeli di pelelangan dengan cara menghutang.
Ia mengatakan kepada Vendumeester (pelelang) yang menjamin hutang adalah Soekarno dan langsung saja disetujui.
“Jika tuan sahabat Soekarno, ya boleh,” kata Vendumeester.
Sesuai surat perjanjian yang dibuat, Manap akan mengangsur kepada Soekarno, namun kewajiban itu tidak dipenuhi.
Bung Karno kemudian mengangsur hutang pembelian piano sebesar 60 gulden selama lebih tiga bulan, dan lunas.
Soekarno menjalani pengasingan di Bengkulu selama 4 tahun (1938-1942).
Di Bengkulu Bung Karno bertemu Fatmawati, putri tokoh Muhammadiyah setempat, jatuh hati dan berlanjut ke pelaminan.
Penulis: Solichan Arif