Bacaini.id, BLITAR – Namanya Sawito Kartowibowo. Pada medio Oktober 1977, laki-laki asal Sananwetan Kota Blitar Jawa Timur itu telah menggemparkan publik nasional lantaran kenekatannya melawan Presiden Soeharto.
Sawito terungkap menerbitkan petisi berisi lima dokumen pernyataan yang diberinya judul “Menuju ke Keselamatan”. Salah satu pernyataan yang membuat dahi para pembesar negara mengerut adalah “Mundur Untuk Maju Lebih Sempurna”.
Sawito dengan “kurang ajar” berani mendesak Presiden Soeharto meletakkan jabatan. Ia menganggap Soeharto telah gagal menjalankan pemerintahan dan sudah semestinya melimpahkan kedudukan dan tugasnya kepada Mohammad Hatta atau Bung Hatta.
Yang tak kalah ugal-ugalannya, Soeharto juga dipaksanya meminta maaf kepada Bung Karno yang itu ia tuangkan dalam dokumen pernyataan Pemberian Maaf Kepada Bung Karno.
Siapa Sawito? SK Trimurti, mantan Menteri Perburuhan pada era pemerintahan Presiden Soekarno menyebut sosoknya sebagai laki-laki dengan tabiat ujas-ujus atau kaduk wani kurang deduga.
Seorang laki-laki yang bertingkah slonong boy, pemberani tapi kurang memperhatikan sopan santun.
Rahayu Yusuf, rekan kerja Sawito di Balai Penyelidikan Karet Rakyat Bogor mengenal Sawito sejak 1957. Ia mengatakan rekannya tidak pernah memiliki perasaan rendah diri.
Selalu berbicara dengan suara keras dan lantang, Sawito juga dikenal memiliki pembawaan yang selalu ramah sekaligus bersahabat kepada siapa saja.
“Walaupun baru kenal beberapa hari sudah merasa seolah-olah kenal bertahun-tahun,” demikian dikutip dari buku Sawito, Ratu Adil, Guruji, Tertuduh.
Sawito lahir tahun 1932 di wilayah Kecamatan Sananwetan Kota Blitar. Ia disebut-sebut masih memiliki ikatan darah dengan Bung Karno.
Raden Hardjodikromo, kakek Bung Karno dari garis ayah (Raden Soekemi Sastrodihardjo) adalah saudara kandung kakek Sawito. Hardjodikromo diketahui bertempat tinggal di Kepatihan Kabupaten Tulungagung.
Hardjodikromo dengan Sarinah, pembantunya yang mengasuh Bung Karno saat Soekarno masih berusia kanak-kanak. SK Trimurti dalam artikelnya menyebut Sawito Kartowibowo satu embah buyut dengan Bung Karno.
“Embah Sawito adalah kakak sulung embah Bung Karno,” tulisnya.
Memiliki tinggi 168 cm dengan berat badan 68 kilogram, gestur fisik Sawito memang kurang memikat. Kendati demikian lelaki asal Blitar itu memiliki kemampuan persuasif di atas rata-rata.
Dengan tutur kata yang memikat, Sawito sanggup membuat orang lain mengikuti kemauannya. Entah seperti apa retorikanya, Sawito mampu menggalang dukungan dari sejumlah tokoh nasional.
Dalam Petisi yang berisi lima dokumen pernyataan itu terdapat nama Moh Hatta selaku bagian pembuat pernyataan lengkap dengan tanda tangannya.
Kemudian juga tanda tangan Prof Dr Buya Hamka selaku Ketua Majelis Islam Indonesia, Kardinal Yustinus Darmoyuwono selaku Ketua MAWI, Raden Said Tjokrodiatmodjo selaku Ketua Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia, TB Simatupang selaku Ketua Dewan Gereja-gereja se Indonesia, Drs Singgih dan Sawito Kartowibowo sendiri.
Penandatangan berlangsung di Bogor pada Selasa Kliwon, 7 September 1976.
Petisi dengan lima dokumen pernyataan itu kemudian beredar luas dan sontak menghebohkan publik tanah air. Akibatnya Sawito ditangkap dengan tuduhan subversif dan makar.
Pada 6 Oktober 1977 atau sehari perayaan HUT ABRI (sekarang TNI), Sawito diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sawito kukuh dengan pendiriannya, menolak tuduhan makar.
Ia berdalih hanya ingin menyelamatkan bangsa dan negara, menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Di depan Ketua Majelis Hakim H Muhammad Sumadiyono SH dan JPU Mapigau SH, Sawito menyangkal semua dakwaan.
“Tuduhan melakukan subversipun omong kosong belaka. Tidak ada stagnasi ekonomi dalam bentuk apapun yang saya lakukan,” kata Sawito dalam eksepsinya.
Sawito tidak merasa dirinya telah berbuat jahat. Ia tidak merasa membuat gerakan yang menganggu ketertiban umum. Tidak ada makar dengan aksi bersenjata.
“Tak ada sebutir pelurupun yang meletus. Bahkan tak ada air teh yang tumpah dari cawan,” tambahnya.
Dalam pembacaan dakwaan di persidangan, Sawito dituduh telah menyiapkan gerakan makar sejak tahun 1972 hingga 1976. Laki-laki asal Blitar itu tidak gentar.
Setidaknya ia perlihatkan dengan memohon kepada majelis hakim untuk dihadirkan sejumlah saksi yang dimulai dari Presiden Soeharto, Jaksa Agung Ali Said, Adam Malik dan Kepala Bakin Yoga Sugama.
Kemudian juga Letjen Ali Moertopo, Bung Hatta, SK Trimurti, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso, Uskup Bogor Harsono, hingga Sigit Soeharto (putra Soeharto). Namun majelis hakim menolak permohonannya.
Sawito mendapat pembelaan hukum dari Yap Thiam Hien bersama empat pengacara lain secara probono (gratis), namun semua itu tidak mampu meloloskannya dari ancaman hukuman penjara.
Sementara melalui opini di media massa para politisi Golkar, PPP dan PDI ramai-ramai menyudutkannya.
Pada 18 Juli 1978, majelis hakim dalam persidangan yang ke-28, menjatuhkan vonis Sawito Kartowibowo terbukti bersalah dan harus menjalani hukuman 8 tahun penjara dipotong masa tahanan.
Penulis: Solichan Arif