Bacaini.id, KEDIRI – Seorang pria duduk bersandar di tiang masjid. Tubuhnya kurus terbungkus kemeja putih dan sarung. Kedua matanya terpejam.
Ketika satu per satu jamaah sholat Subuh beranjak meninggalkan masjid, pria itu masih terdiam. Duduk bersila di atas sajadah sambil menyandarkan punggung di tiang. Kelopak matanya masih melekat.
Jam di tembok masjid menunjukkan pukul 07.00 WIB. Langit yang gelap telah berubah terang. Pria itu masih terduduk diam.
Khawatir terjadi sesuatu, aku memberanikan diri mendekat. Bermaksud membangunkan jika dia sedang tertidur. Namun saat hendak menyentuh pundaknya, kutarik kembali tanganku. Pria itu tidak tidur. Melainkan berdzikir.
Jarinya yang sedikit berkeriput tak henti memutar biji tasbih. Bibirnya bergetar. Lamat-lamat terdengar bacaan Al Fatehah dari mulutnya. Aku menjauh menuju serambi masjid.
Entah terganggu dengan keberadaanku, atau memang jatah wiritnya sudah selesai, pria itu membuka mata. Usai menggulung sajadah, dia berdiri meninggalkan ruang sholat.
Melihat keberadaanku di luar, pria ceking itu menghampiri. “Assalamulaikum, kok belum pulang,” tanyanya ramah.
Aku tersenyum sambil membalas salam. Pria yang akhirnya kuketahui bernama Joko itu duduk di sampingku, ngobrol seperti teman yang sudah lama kenal.
Entah bagaimana ceritanya sampai akhirnya Pak Joko menceritakan masa lalunya. “Dulu saya tukang minum mas. Setiap malam saya selalu di A***N (menyebut tempat karaoke di Kota Kediri),” katanya.
Sebagai pegawai salah satu BUMN dengan jabatan tinggi, penghasilan Pak Joko sangat besar. Gajinya nyaris tak berkurang meski setiap malam menghabiskan waktu di tempat karaoke dan minum. Pilihan minumnya juga tak sembarangan. Branded dan mahal.
Selama bertahun-tahun rutinitas Pak Joko dilalui dengan ngantor dan minum. Tak jarang dia pulang dengan kondisi mabuk karena terlalu banyak menenggak minuman beralkohol. Belum lagi jika mendapat tugas luar kota dengan fasilitas uang saku yang banyak.
Uniknya, meski tenggelam dengan kebiasaan mabuk, tak sekalipun Pak Joko meninggalkan sholat lima waktu. “Saya tidak akan menyentuh botol sebelum sholat Isya’ dulu,” katanya tertawa.
Setelah menjalani rutinitas seperti itu dalam waktu lama, kejadian aneh mulai dialami Pak Joko. Setiap kali mulai mabuk, telinganya mendengar bisikan yang sama berulang-ulang. “Setonogedong……Setonogedong……Setonogedong”.
Awalnya Pak Joko menganggap suara itu merupakan efek minuman keras. Namun setiap kali mabuk, suara itu terus terdengar.
Hingga suatu ketika karena penasaran, Pak Joko mencari tempat yang bernama Setonogedong. Oleh tukang parkir Jalan Doho dia diarahkan menuju sebuah gang menuju masjid. “Saat itu saya baru tahu kalau di dalam Setonogedong ada masjid dan kuburan,” katanya.
Seperti orang ling lung, Pak Joko berdiri mematung di halaman masjid. Tak tahu harus berbuat apa.
“Bapak sebaiknya ambil air wudhu dulu, lalu sampaikan apa niat bapak ke sini,” kata seorang laki-laki berpeci yang tiba-tiba mendatanginya.
Pak Joko menuruti perintah itu. Usai mengambil air wudhu, dia duduk di serambi masjid. Karena belum tiba waktu sholat, Pak Joko hanya berdzikir di sana. Sampai tak terasa sudah berjam-jam dia duduk di serambi masjid.
Sejak peristiwa itu dorongan untuk selalu datang ke Masjid Setonogedong terus menggelora. Namun Pak Joko juga masih melakukan aktivitas minum bersama teman-temannya. “Lambat laun saya mulai mengarahkan kendaraan ke Setonogedong, tidak ingin lagi mampir ke A***N,” katanya.
Pak Joko meneguhkan prinsip untuk selalu menjaga dizikir di manapun berada. Tanpa guru ngaji dan ustad yang membimbingnya, Pak Joko menemukan jalannya sendiri untuk bertaubat. Dia kembali ke rumah Allah setelah bertahun-tahun tersesat.
Dengan dzikir dia merasa tenang, jauh lebih tenang dibandingkan efek alkohol yang dulu ditenggaknya setiap malam. Emosinya yang meledak-ledak juga berubah 180 derajat. “Setiap hari saya membaca 1.000 surat Al Fatehah dan 500 sholawat. Itu yang mengontrol saya,” ucapnya mengakhiri cerita pagi itu.
Subhanallah.
Penulis: HTW
Tonton video: