Bacaini.id, JOMBANG – Nama besar pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari tak bisa dipisahkan dari kedua orang tuanya. Mereka adalah Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Lahir di Salatiga, Jawa Tengah, Kiai Asy’ari adalah putra dari Abdul Wahid bin Abdul Halim, seorang komandan pasukan Diponegoro di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, yang menggunakan nama “Pangeran Gareng”. Nasab Kiai Asy’ari merujuk hingga ke Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir alias Sultan Pajang.
Perjalanan Kiai Asy’ari di Jombang dimulai saat dirinya mengenyam pendidikan sebagai santri di Pondok Pesantren Nggedangan atau yang sering disebut Pondok Selawe di Tambakberas, Jombang. Asy’ari dikenal sebagai santri yang cakap dan rajin. Dia memiliki kesungguhan dalam menuntut ilmu dan selalu menurut kepada gurunya, salah satunya Kiai Ustman, ayah dari Halimah.
Setelah menikah dengan Halimah, Asy’ari mendapatkan tugas untuk datang ke Desa Keras, Kecamatan Diwek, Jombang. Dia diutus oleh Kiai Ustman yang saat itu sedang dalam kondisi sakit untuk mewakilinya menangani sebuah kawasan di Desa Keras yang dikenal wingit.
“Saat itu Kepala Desa Keras datang dan meminta bantuan kepada Kiai Ustman untuk mengurus daerah Keras Barat yang katanya angker,” ujar KH. Abdul Golib Sulhi atau Gus Golib, salah satu keturunan dari Kiai Asy’ari kepada Bacaini.id, Minggu, 3 April 2022.
Kala itu Desa Keras masih berupa hutan belantara dengan berbagai jenis makhluk gaib yang menjadi penghuninya. Makhluk tak kasat mata itu seringkali mengganggu manusia sehingga membuat masyarakat resah dan ketakutan.
Berangkatlah Asy’ari bersama sang istri dan beberapa santri yang ikut mendampingi sekaligus ingin berguru kepadanya. Sesampainya di sana Kiai Asy’ari mendirikan padepokan dan menjalankan amanah yang diembannya.
Satu persatu makhluk gaib penghuni hutan belantara berhasil ditaklukkan Kiai Asy’ari dengan caranya. Selain menjalani sejumlah amalan untuk memudahkannya menjalani tugas dari Kiai Ustman, Kyai Asy’ari juga menyebarkan agama Islam serta menata warga desa. “Beliaunya punya riyadhoh sendiri untuk mengatasi kesulitan selama mengemban amanah di Desa Keras,” ujar Gus Golib
Alhasil, makhluk gaib penghuni hutan belantara di Desa Keras banyak yang masuk islam dan menjadi santri di pondok pesantren yang didirikan Kyai Asy’ari, begitu juga dengan warga desa. Namun kebanyakan santrinya memang makhluk gaib yang berhasil ditaklukannya. “Semuanya bisa ditaklukan dan sebagian menjadi santrinya,” imbuhnya.
Tidak heran jika banyak cerita santri mbah Asy’ari yang membandel bisa pindah tidur dari kamar tidur ke kamar mandi pada pagi harinya. Kepindahan tempat tidur para santri yang bandel ini bisa jadi ulah santri tak kasat mata itu. “Tidak ada yang tau siapa yang memindahkannya,” kata Gus Golib.
Keberhasilan Kiai Asy’ari mengemban amanah di Desa Keras juga tidak lepas dari dukungan sang istri. Sejak awal tinggal di Desa Keras, Halimah yang dikenal dengan panggilan Mbah Winih menjalani ibadah puasa selama tiga tahun tanpa henti. Puasa tahun pertama dikhususnya untuk membersihkan dirinya dari segala dosa, kemudian tahun kedua dikhususkan untuk seluruh keturunannnya. “Tahun ketiga puasanya dikhususkan untuk para santri,” kenang Gus Golib yang mendapatkan cerita dari ibunya.
Selama tinggal di Desa Keras, Kiai Asy’ari memiliki 11 keturunan yang diantaranya menjadi tokoh besar Agama Islam. Seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim juga KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan masih banyak lagi tokoh besar yang lahir dari pernikahan Kiai Asy’ari dan Halimah.
Desa Keras akhirnya menjadi tempat peristirahatan terakhir Kiai Asy’ari dan Halimah. Hingga saat ini makamnya menjadi jujukan para peziarah seperti halnya makam Hasyim Asy’ari dan Gus Dur yang juga berada di Jombang.
Penulis: Syailendra
Editor: Novira