Bacaini.id, KEDIRI – Jika melintas di Jalan Hayam Wuruk Kota Kediri, akan terlihat bocah penjual gorengan yang mangkal dekat perlintasan kereta api. Menggunakan sepeda pancal untuk menaruh gorengan, bocah laki-laki itu duduk beratap payung di pinggir jalan.
Dia adalah Hasan, berusia 10 tahun yang duduk di bangku kelas 3 SDN Bangsal 1 Kota Kediri. Hasan tinggal bersama orang tuanya di belakang Rumah Sakit Baptis. Hasan anak sulung dari empat bersaudara. Adiknya yang paling kecil baru berusia dua bulan.
Setiap hari Hasan mangkal di tempat itu, berseberangan dengan Rumah Makan Delicious. Seperti pedagang yang lain, Hasan duduk menunggu pembeli mulai pagi hingga sore. Tubuhnya yang kecil sangat mudah dikenali dari deretan pedagang yang mengadu nasib di sepanjang Jalan Hayam Wuruk.
Meski demikian, semangat Hasan untuk berdagang tak kalah dengan pedagang dewasa. Dia bahkan bisa menata lapak sendirian. Mulai memasang payung, menyiapkan dagangan di atas sepeda, hingga bertahan di bawah terik matahari hingga sore hari. “Payung dan kursinya saya titipkan di sana. Pulang pergi hanya membawa sepeda dan dagangan,” kata Hasan di Kantor Redaksi Bacaini.id, Sabtu, 2 Juli 2022.
Sore itu reporter Bacaini.id Novira Kharisma mengajaknya singgah untuk beristirahat. Novira berpapasan dengan Hasan di jalan saat hendak pulang ke rumahnya di Kelurahan Bangsal, Kecamatan Pesantren.
Saat itu Hasan baru saja mengalami insiden kecil ketika wadah dagangannya jatuh dari sepeda. Beruntung penutup wadah gorengan itu cukup kuat dan tak membuat dagangannya semburat. Setelah dibantu seorang pengguna jalan, Hasan menerima ajakan untuk beristirahat sejenak di Kantor Bacaini.id di Jalan Letjen Sutoyo. Lokasi kantor searah dengan rute perjalanan Hasan ke rumah.
Usai menenggak segelas air, Hasan menceritakan asal mula berjualan. “Ini keinginan saya sendiri, bukan atas permintaan orang tua,” katanya.
Hasan lantas berkisah tentang kehidupannya. Orang tuanya adalah warga Ngawi yang hijrah mengadu nasib di Kota Kediri. Hasan juga lahir di Ngawi.
Masa kecil Hasan tinggal di rumah kontrakan. Ayahnya bekerja sebagai penjual kerupuk keliling. Kerupuk mentah yang dibeli di pasar digoreng untuk kemudian dikemas plastik berbagai ukuran. Salah satunya adalah kerupuk plompong.
Kerupuk jenis ini cukup banyak peminatnya. Ayah Hasan yang bernama Nurkolis memilih kerupuk ukuran kecil. Alasannya sederhana, biar terisi banyak di dalam plastik.
Kerupuk itu dijual sangat murah, Rp2.000 per bungkus. Jika membeli tiga bungkus sekaligus mendapat potongan harga Rp1.000.
Hasan kecil yang saat itu berusia 8 tahun ikut membantu menitipkan kerupuk ke warung-warung. Mengendarai sepeda pancal dia menenteng kerupuk menyusuri jalan.
Tak disangka kerupuk yang dia bonceng justru menarik minat pembeli di jalan. Bahkan tak jarang kerupuk itu habis sebelum tiba di warung. “Akhirnya saya meminta untuk jualan sendiri,” kata Hasan.
Pandemi Covid 19 yang memaksa seluruh siswa belajar di rumah dimanfaatkan Hasan untuk jualan. Tanpa malu dia mengayuh sepeda di kampung dekat rumahnya seperti Tinalan dan Burengan untuk menjajakan kerupuk.
Hasan tak pernah memilih rute yang sama. Beberapa kali dia terpaksa pindah rute lantaran sepi tak ada pembeli. Sampai pada akhirnya Hasan memutuskan mangkal di sebelah timur perlintasan kereta api Jalan Hayam Wuruk.
Ragam dagangannya juga bertambah. Bukan hanya kerupuk, aneka gorengan dia jual di wadah plastik dengan harga Rp1.000 – 1.500 per biji. Isinya macam-macam, mulai tahu bakso, ote-ote, tempe, dan lainnya.
Jika kerupuk dibuat ayahnya, gorengan dimasak oleh ibunya. Aktivitas memproduksi gorengan ini dilakukan sejak ibunya melahirkan adik kecilnya yang saat ini berusia dua bulan. “Ibu juga ikut jualan, tapi sendiri-sendiri. Bapak di rumah jaga adik-adik,” jelas Hasan.
Selama kegiatan sekolah belum berjalan penuh, Hasan mulai meninggalkan rumah pukul 08.30 WIB. Jarak lokasi mangkal dengan rumahnya sekitar 3 kilometer. Cukup jauh untuk mengayuh sepeda dengan beban dagangan di belakang. Apalagi postur tubuh Hasan yang tak sebanding dengan sepeda dewasa yang dikendarai.
Meski menunggu seharian, tak setiap hari dagangannya habis terjual. Jika masih sisa, dia berinisiatif berkeliling sebelum pulang ke rumah.
Dia mengaku tak malu saat terpergok teman sekolah atau gurunya saat mangkal di pinggir jalan. Mereka justru mampir untuk membeli beberapa gorengan. “Pernah suatu saat teman saya lewat sama ibunya. Teman saya disuruh beli, tapi dia yang malu,” cerita Hasan.
Seluruh hasil jualannya diserahkan kepada orang tuanya. Tak sepeserpun Hasan meminta upah atas jasanya. Di usianya yang masih kecil, Hasan sudah memahami kebutuhan orang tuanya yang tidak sedikit. “Uangnya dipegang bapak sama ibu, ditabung untuk sekolah,” katanya.
Kisah Hasan ini menjadi pelecut semangat untuk tidak menyerah pada keadaan. Sekaligus membuka mata bahwa tak semua orang mampu bangkit dari keterperukan ekonomi dengan mudah.
Penulis: Novira Kharisma, HTW
Tonton video: