Bacaini.ID, KEDIRI – Mayoritas kasus perceraian di Indonesia diajukan oleh istri dan itu banyak dipengaruhi oleh walkaway wife syndrome.
Data terbaru menyebut sekitar 78,3% kasus perceraian hasil gugatan dari pihak istri. Sedangkan cerai talak oleh suami hanya sekitar 21,7%.
Angka perceraian ini menunjukkan dominasi perempuan dalam mengakhiri pernikahan didorong oleh faktor seperti kemandirian ekonomi, perubahan peran gender, dan meningkatnya kesadaran akan hak-hak hukum.
Tidak banyak yang menyadari dengan fenomena walkaway wife syndrome dibalik banyaknya kasus perceraian yang diajukan istri.
Suami merasa pernikahan baik-baik saja dan tak ada masalah, sementara istri merasa pernikahannya sudah tak bisa diselamatkan. Walkway wife syndrome telah bekerja.
Baca Juga: Kasus Perceraian di Indonesia Masuk 4 Besar ASEAN
Walkaway Wife Syndrome, Tiba-tiba Cerai Buat Suami Kaget
Seringkali terjadi dalam sebuah kasus perceraian yang diajukan oleh istri, suami merasa ‘kaget’ dan merasa pernikahannya baik-baik saja.
Walkaway Wife Syndrome atau juga dikenal sebagai Neglected Wife Syndrome merupakan fenomena di mana seorang istri memutuskan untuk meninggalkan pernikahan secara tiba-tiba setelah bertahun-tahun merasa diabaikan atau tidak didengar.
Meskipun bagi suami perpisahan terasa mendadak, namun bagi istri ini adalah akumulasi dari proses panjang pelepasan emosional.
Tidak ada perpisahan yang diputuskan secara mendadak atau tanpa alasan yang jelas. Fenomena tersebut terjadi karena koneksi emosional yang perlahan mati. Berikut penyebabnya.
• Pengabaian Emosional
Kurangnya validasi emosi istri dari suami, komunikasi yang buruk, hingga timbul rasa kesepian dan merasa selalu sendiri meskipun tinggal bersama suami.
• Beban Mental yang Tidak Seimbang
Peran suami yang kurang dalam keluarga dan lingkungan sosial. Istri menanggung semua tanggung jawab keluarga, pengasuhan anak dan menanggung sendiri beban mentalnya.
• Situasi ‘Percuma Ngomong’
Sikap cuek suami yang membuat istri merasa ‘percuma ngomong’, merasa usahanya untuk meminta campur tangan suami dalam sebuah permasalahan adalah sia-sia. Suami merasa bukan masalah serius, namun istri merasa ini hal penting yang harus diselesaikan.
Baca Juga: Mengenal Grey Divorce, Fenomena Cerai di Usia Paruh Baya
Waspada Pada Ciri-ciri Walkaway Wife Syndrome
Seringkali suami tidak menyadari bahwa sikap tenang istri adalah bentuk pertahanan dirinya yang terakhir sebelum memutuskan berpisah.
Tidak ada lagi omelan, protes, tuntutan, bukan berarti istri sudah bisa menerima. Namun ini adalah bentuk keputusasaan pada pernikahan dan sikap menyerah untuk berharap.
• Berhenti Mengeluh
Tidak ada lagi omelan dan sikap cerewet. Perempuan cenderung diam meskipun ia tetap menjalankan fungsinya sebagai istri. Bukan berarti ia sudah bisa menerima, namun sudah tidak peduli lagi untuk memperbaiki keadaan.
• Menarik Diri Secara Emosional
Tidak ada lagi obrolan mengenai hal-hal remeh sehari-hari. Komunikasi berubah menjadi lebih formal hanya untuk urusan yang bersifat logistik. Seperti tagihan bulanan, kebutuhan rumah dan anak.
• Fokus pada Kemandirian
Istri mulai membangun ‘hidup baru’ di luar pernikahan. Hobi baru, pertemanan baru, atau fokus pada karier dan stabilitas finansial pribadi sebagai persiapan untuk berpisah.
• Penurunan Intimasi Fisik
Tidak ada lagi bermanja-manja, enggan untuk bermesraan dan justru merasa risih didekati. Perasaan yang sudah mati membuat istri tidak lagi memiliki hasrat pada suami.
Kepedulian Suami Bisa Mencegah Perpisahan
Walkaway wife syndrome berujung perceraian seringkali terjadi karena suami yang salah mengartikan dan mengatasi perubahan perilaku istri.
Jika terdeteksi lebih awal, pernikahan masih mungkin diselamatkan dengan beberapa hal. Berikut di antaranya.
• Mendengarkan Tanpa Defensif
Dengarkan semua keluhan istri dengan penuh empati. Validasi perasaannya dan buat istri merasa aman untuk menyampaikan semua keluh kesahnya. Tidak perlu mendebat.
• Perubahan Konsisten
Jika hanya janji kosong, tidak akan menyelamatkan pernikahan. Perubahan perilaku jangka panjang dan berbagi beban rumah tangga adalah salah satu yang paling mungkin menjadi penyelamat pernikahan.
• Libatkan Pihak Ketiga
Jika dirasa sulit untuk kembali berkomunikasi, libatkan pihak ketiga. Konseling pernikahan maupun anggota keluarga yang dituakan sebagai jembatan komunikasi yang terputus.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





