MADIUN – Siapa tak tahu alas Saradan. Tak hanya panjang dan luas, hutan ini dikenal angker atau wingit oleh masyarakat sekitar.
Keangkeran alas Saradan ini dituturkan oleh Sumarlan, anggota TNI asal Kecamatan Dlopo, Kabupaten Madiun. Tentara yang akrab disapa Ome ini bertugas di Yonif 521, dan pernah bertugas di daerah terpencil seperti Ambon, Papua, dan Aceh.
Uniknya, dari semua daerah tersebut, Ome mengaku mengalami peristiwa seram justru saat bertugas di Madiun. Di sana dia ditugaskan menjaga gudang amunisi di alas Saradan. “Kita masuk ke dalam hutan sekitar pukul 01.00 dini hari, setelah apel di depan sekaligus pergantian personil,” kata Ome mengawali cerita kepada Bacaini.id, Kamis 12 November 2020.
Belum sampai masuk ke dalam hutan, kengerian sudah mulai terasa. Terlihat dari pinggir jalan hutan yang begitu luas. Pepohonan Jati yang rimbun dan menjulang tinggi menambah seram suasana jalan raya yang mulai sepi di malam hari.
Makin ke dalam makin mencekam. Hutan benar-benar sangat gelap. Satu-satunya alat bantu untuk berjalan adalah senter. Suara kendaraan tak lagi terdengar. Berganti dengan kesunyian hutan dan suara binatang malam yang mencekam.
Ome tak sendirian. Dia bertugas bersama rekannya. Namun mereka berpisah untuk menempati pos masing-masing. Hingga tersisa dua personil saja menuju pos terakhir. “Ssaya kebagian pos terakhir bersama teman saya,” kata Ome.
Ome mengatakan, keanehan terasa saat menuju pos terakhir tempatnya berjaga. Jika jarak antar pos sebelumnya terasa sangat dekat, tidak dengan pos terakhir. Pos itu tak kunjung terlihat meski sudah berjalan sangat jauh.
Hingga matahari menyingsing Ome dan rekannya tak kunjung menemukan pos yang mereka tuju. Karena frustasi, keduanya memutuskan beristirahat dan membuka bekal makanan. “Begitu kami melanjutkan perjalanan sebentar, langsung ketemu,” kata Ome.
Keanehan itu mengawali hari-hari penuh misteri di alas Saradan berikutnya. Malam-malam mereka di hutan diwarnai suara binatang liar, tangisan perempuan, suara tertawa, dan suara minta tolong. Tentu saja suara-suara tersebut bukan dari manusia, melainkan penghuni hutan dari jenis lain.
Seperti keangkeran peristiwa malam ini. Karena kelelahan bertugas, rekan Ome tertidur pulas di posnya. Hanya Ome yang tak bisa terlelap. Dia seperti terjaga dan tak bisa memejamkan mata.
Saat itulah Ome mendengar suara benda jatuh dari pohon. Spontan anggota TNI itu memeriksa situasi di sekitar pos menggunakan senter. Suara benda jatuh kembali terdengar kedua kalinya. Kali ini diikuti benda menggelinding ke arah kakinya.
Saat mengarahkan senter ke bawah, Ome terkejut bukan kepalang. Dia mendapati benda tersebut adalah kepala manusia. Mulutnya robek melebar dengan gigi menyeringai. Saat itu juga Ome lari tunggang langgang ke dalam pos. Seumur-umur, Ome mengaku pertama kalinya melihat penampakan hantu dengan sangat jelas.
Setelah peristiwa itu, Ome mengaku sangat trauma. Dia berusaha terjaga siang hari agar bisa tertidur malam hari.
Celakanya, meski berusaha menghindari bertemu makhluk halus, Ome justru kembali mengalami peristiwa kedua yang tak kalah seram. Kejadian itu terjadi saat perjalanan keluar hutan, saat pergantian personil setelah bertugas selama 15 hari.
Saat berjalan, Ome berkata kepada temannya tentang ketakutannya jika tersesat seperti waktu pertama masuk. Saat itu temannya dengan lantang mengatakan tidak takut. Hingga keduanya benar-benar tersesat untuk kedua kali. Perjalanan mereka menuju luar hutan justru berputar-putar di tempat yang sama.
Merasa ada yang tidak beres, Ome berjalan sambil berdoa. Sampai akhirnya berdua bertemu seorang nenek memakai pakaian kebaya. Nenek itu menanyakan tujuan mereka dan menunjukkan jalan keluar. “Dalane kono le, kowe kesasar iki, iki duduk dalane menungso (Jalan keluarnya disana nak, kalian tersesat, ini bukan jalan untuk manusia),” kata nenek itu.
Benar saja, setelah mengikuti arahan nenek itu, dua anggota TNI tersebut bisa menemukan jalan keluar hutan. Pengalaman itu membawa pelajaran bagi Ome yang kini bertugas di Kodim 0809 Kediri untuk tidak jumawa. Selain manusia, ada makhluk lain yang hidup berdampingan.
Penulis: Novira Kharisma
Editor: HTW