Bacaini.id, KEDIRI – Jauh sebelum direnovasi menjadi proyek mangkrak, Alun-Alun Kota Kediri adalah tempat paling membahagiakan sekaligus membanggakan. Nongkrong di alun-alun adalah puncak pencapaian remaja era 1990-an.
‘Perkenalanku’ secara intensif dengan alun-alun terjadi di tahun 1990. Ini lantaran salah satu temanku SMP tinggal di dekat alun-alun. Saking dekatnya seluruh aktivitas lalu lalang pengunjung alun-alun terlihat dari teras rumahnya.
Posisi rumah yang strategis adalah alasan menjadikannya basecamp. Bukan hanya menjadi tempat cangkruk teman satu sekolah, pelajar sekolah lain pun turut mangkal di sana.
Perbedaan hanya ada pada warna seragam sekolah. Urusan makan, main gitar, modifikasi motor, sepak bola, hingga menjajal ngamen, kami satu frekuensi. Terlebih urusan fashion.
Meski uang saku di kisaran 5.000 – 10.000, urusan busana kami tidak kaleng-kaleng. Walaupun ada juga yang mencomot rantai kaleng biskuit sebagai pengait dompet.
Setelan hem panjang lengan digulung, dipadu celana cutbray adalah kostum kebanggaan kami saat masuk SMA. Celana yang lebar di ujung kaki ini sedang trending-trendingnya di tahun 1993, dengan segala resiko yang menyertai (seperti nyerempet tai ayam atau rantai motor).
Dengan kostum itu, kami berkeliling alun-alun untuk menjual tampang. Sesekali mampir di tempat parkir untuk menyapa jukir setempat, sebelum berakhir di kaki patung Mayor Bismo dalam waktu lama.
Patung ini selalu mengingatkan pada candaan bapakku yang menyebut “Kediri tenggelam jika banjir selutut”.
“Lututnya Mayor Bismo,” sambungnya tertawa. Guyonan lucu bagi yang penasaran, namun garing bagi yang mendengar puluhan hingga ratusan kali sepertiku.
Jika bapakku masih hidup, guyonan itu langsung kupatahkan. “Mayor Bismo sekarang ditaruh di bawah, Pak. Pancatannya dibongkar dan gak jadi-jadi,” kataku.
Penulis: Hari Tri Wasono
Beritanya menarik dan mengibur dan unik, sayangnya , tanpa disertai dengan foto penulis yang mengenakan celana cutbray seperti kata peenulis yang dituangkan dalam tulisanya …