Bacaini.ID, BLITAR – Pemerintah Kabupaten Blitar memikirkan pengelolaan lebih serius terhadap warisan budaya tak benda pusaka gong Kiai Pradah.
Meskipun tradisi siraman atau jamasan gong Kiai Pradah kenyataannya tidak pernah sepi. Selalu menarik animo masyarakat.
Yang hadir menyaksikan ritual siraman gong Kiai Pradah diketahui datang dari mana-mana. Bukan hanya warga Kabupaten Blitar.
Begitu juga pada tahun 2025 ini. Namun keramaian ritual tradisi budaya yang menggerakkan roda ekonomi kerakyatan itu dinilai belum cukup.
“Siraman gong tidak boleh hanya berhenti sebagai rutinitas,” kata Eko Susanto, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Blitar belum lama ini.
Disbudpar Pemkab Blitar melihat kemasan acara ritual jamasan Kiai Pradah sebagai salah satu poin penting yang perlu dioptimalisasi.
Kemudian penataan kawasan penyelenggaraan ritual jamasan. Termasuk inovasi yang tidak boleh berhenti, harus terus dilakukan.
Disbudpar juga menyoroti penataan lokasi pedagang kaki lima (PKL), kebersihan serta perlu diperbanyak event-event pendukung.
“Tujuannya agar pendukung mendapat pengalaman yang lebih lengkap,” ungkap Eko.
Sebagai warisan tak benda, Disbudpar berfikir tentang investasi dalam penyelenggaraan ritual jamasan. Ada perputaran uang yang lumayan besar selama acara.
Dengan kemasan yang lebih baik diharapkan dapat lebih meningkatkan kunjungan wisatawan. “Kemasan lebih baik akan membuat kunjungan wisatawan meningkat,” jelas Eko.
Kekuatan ritual tradisi siraman pusaka Gong Kiai Pradah terletak pada keyakinan akan tuah air bekas jamasan. Air yang selalu diperebutkan ribuan orang.
Pada sisi lain Gong Kiai Pradah merupakan pusaka pada era awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Bupati Blitar Rijanto mengapresiasi animo masyarakat yang nyaris tidak pernah sepi. Setiap tahun selalu ramai.
Bahkan pada tahun 2025 ini terjadi peningkatan signifikan. Partisipasi UMKM juga lebih besar, termasuk penataan acara yang lebih rapi.
Ritual rutin tahunan merupakan bagian dari upaya Pemkab Blitar melestarikan kebudayaan masyarakat sekaligus menggerakkan ekonomi lokal.
“Pemerintah daerah memastikan tradisi ini menjadi motor penggerak pariwisata sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat,” kata Bupati Rijanto. (*)