Di kalangan pekerja media Kediri, sosok Kanthi Wiyoto cukup fenomenal. Pengalamannya yang baru seumur jagung di dunia media tak menghalangi menjadi orang yang dipercaya oleh dewan pers. Sejumlah perusahaan media cetak dan elektronik juga mempercayakan Kanthi sebagai pimpinan.
Kedekatan Kanthi dengan dewan pers kerap dituding abal-abal. Banyak pihak yang meragukan kapasitas Kanthi memiliki irisan dengan lembaga tertinggi media itu, meski di beberapa kesempatan Kanthi terlihat bergandengan dengan anggota dewan pers.
Tak hanya di depan narasumber atau instansi pemerintah, sebagian besar wartawan yang mengenalnya juga kerap memicingkan mata. Kanthi dianggap tak memiliki nilai lebih apa-apa karena tak memiliki jejak rekam istimewa sebagai wartawan.
Faktanya, nama Kanthi Wiyoto justru lekat dengan para petinggi media massa dan dewan pers. Bahkan pria kelahiran Nganjuk tahun 1974 ini disebut-sebut sebagai anak didik Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL.
Bagaimana sebenarnya fakta tentang Kanthi Wiyoto?
Sabtu, 25 Juli 2020, Kanthi Wiyoto mencerikan kisah dan rumor tentang dirinya saat bertandang di kantor redaksi Bacaini. Berikut wawancaranya.
Bacaini
Mulai kapan Anda menjadi wartawan?
Kanthi
Saya baru mengenal dunia wartawan pada tahun 2008. Itupun ketidaksengajaan karena diajak seorang wartawan mingguan untuk ikut dia. Saya dalam posisi menganggur dan tidak punya pekerjaan sama sekali.
Bacaini
Sebelumnya apa pekerjaan Anda?
Kanthi
Saya pengusaha kayu di Jember. Saya membeli dan mengolah kayu untuk dijadikan bahan furniture. Tiba-tiba usaha saya bangkrut dan menyisakan hutang milyaran rupiah. Karena tak sanggup membayar, saya lari pindah-pindah kota hingga ke Kalimantan karena takut dikejar debt collector. Sampai kemudian kembali ke Jawa dan masuk Kediri.
Bacaini
Apa yang Anda lakukan di Kediri?
Kanthi
Saya menjadi gelandangan di jalan. Kadang membersihkan sampah di stasiun dan ikut kereta. Makan sekali dalam dua hari saja sudah Alhamdulillah. Yang penting identitas saya hilang dan tidak diketahui debt collector.
Bacaini
Bagaimana kemudian menjadi wartawan?
Kanthi
Saat menggelandang itu saya sering ke warung kopi. Di sana saya bertemu seorang wartawan mingguan (menyebut nama) yang kasihan melihat saya. Dia mengajak kerja menjadi wartawan. Saya ikut saja karena tidak tahu bagaimana wartawan bekerja. Tugas saya hanya menemani dia berkunjung ke dinas-dinas, seperti kelurahan, sekolahan, kantor Samsat, dan sebagainya.
Di situ saya tahu enaknya jadi wartawan. Tinggal datang, dikasih uang, pulang. Dalam satu titik bisa mendapat lima puluh ribu, dibagi berdua. Padahal teman saya hanya ngobrol dan tidak menulis berita. Sejak itu saya memutuskan menjadi wartawan dan berani jalan sendiri setelah dibuatkan ID Card. Modal cuma tanya-tanya karena saya tidak bisa menulis berita.
Bacaini
Bagaimana orang percaya dan memberi Anda uang?
Kanthi
Saya juga tidak tahu mengapa mereka memberi saya uang. Yang jelas setelah memegang ID Card wartawan, kehidupan saya membaik. Bahkan setahun kemudian saya membuat koran sendiri dan mengangkat diri saya menjadi pemimpin redaksi. Tetapi saya tidak pernah memajang foto saya karena khawatir diketahui debt collector yang mencari saya.
Bacaini
Tidak bisa menulis dan mencari berita. Koran model apa yang Anda buat?
Kanthi
Saya mempercayakan pembuatan koran itu pada seorang tukang layout di percetakan. Saya bayar satu juta, dia bisa mencetak 1.000 lembar koran 12 halaman. Isinya saya juga tidak tahu, apa kata dia. Pokoknya harus ada nama saya di koran itu. Koran inilah yang saya pakai bekerjasama dengan dinas-dinas di Jawa Timur.
Bacaini
Bagaimana Anda mengelola media itu?
Kanthi
Bisnis media itu ternyata jauh lebih gampang dari bisnis kayu. Kalau bisnis kayu semua perhitungannya harus tepat. Salah motong sedikit saja bisa rugi. Kalau media kan semuanya terukur. Modal satu juta, ketemu harga per lembarnya. Tinggal menjual dengan harga lebih, pasti untung. Apalagi jika ada dinas yang memasang iklan, itu bonus. Sulit mencari celah kelemahan di bisnis media karena saking mudahnya.
Belum lagi bisnis jualan ID Card wartawan. Satu ID Card saya jual Rp 250.000. Padahal ongkos cetaknya hanya Rp 5.000. Banyak yang minat karena bisa buat nggrandong atau mbodrek. Harga itu naik menjadi Rp 500.000 pas lebaran. Sebab banyak instansi yang memberi THR untuk wartawan.
Bacaini
Bagaimana Anda mengenal dewan pers?
Kanthi
Saat mengajukan kerjasama iklan ke Humas Pemkot Malang, saya diminta mengurus izin koran ke dewan pers. Saya bingung, apa itu dewan pers. Tapi saya memutuskan berangkat ke Jakarta mencari dewan pers. Kalau tidak, kerjasama media saya terancam.
Bacaini
Anda bertemu siapa di sana?
Kanthi
Saya langsung mencari pimpinan dewan pers dan dipertemukan dengan Bagir Manan. Saya ditanya bagaimana saya mengelola media. Saya terangkan kalau saya mendapat uang dari grandong alias minta ke dinas, kelurahan, Samsat dan sebagainya. Karena setahu saya begitu cara media mencari uang.
Dia kaget dan memarahi saya. Saya balik membentak. Kamu ini siapa tanya-tanya koran saya, wong tinggal ngasih izin kok repot. Dia kaget saya bentak begitu. Saya pikir Bagir Manan adalah PNS yang bekerja di kantor dewan pers. Saya pulang dengan dongkol karena tak diberi izin.
Bacaini
Anda tetap tidak tahu siapa Bagir Manan?
Kanthi
Tidak. Saya tahu setelah pulang ke Kediri dan dikasih tahu seorang pengacara kalau Bagir Manan itu orang penting di dewan pers, mantan Ketua Mahkamah Agung. Saya langsung lemas, tidak bisa tidur. Takut kalau saya dijebloskan ke penjara karena nantangin dia.
Dua minggu kemudian saya kembali ke Jakarta mencari dia untuk minta maaf. Saya langsung minta dibimbing untuk menjadi wartawan baik. Karena saya melakukan dan menceritakan semuanya atas dasar ketidaktahuan. Pak Bagir kemudian membina saya, memberitahu mana yang boleh dilakukan dan dilarang. Sampai akhirnya saya mendapat akses khusus untuk bertemu beliau di dewan pers. Saya juga kenal dengan semua pegawai di sana karena seringnya main.
Bacaini
Anda mendapat keistimewaan khusus?
Kanthi
Saya tidak merasa begitu. Tetapi saya mendapat kemudahan saat mengikuti uji kompetensi wartawan. Saat itu saya ditelpun sekretariat dewan pers untuk mengikuti ujian di Jakarta. Saya bingung karena belum begitu faham jurnalistik. Saya hanya diminta datang tiga hari sebelum ujian.
Di sana saya dipertemukan dengan Bu Maria dari LKBN Antara. Saya diajari bagaimana menulis dan membuat berita. Ternyata beliau yang menguji saya saat uji kompetensi. Saya dinyatakan lulus dengan jenjang utama.
Bacaini
Bagaimana Anda dipercaya dewan pers melakukan verifikasi media?
Kanthi
Selain aktif mengelola media saya sendiri, saya juga menjabat Wakil Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS) Jawa Timur dan Wakil Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Jawa Timur. Dewan pers telah membuat kesepakatan kerja bersama dengan SPS untuk membantu melakukan verifikasi perusahaan media. Sehingga ketika dewan pers melakukan verifikasi faktual, selalu menggandeng SPS. Nah, di dalam surat kerjasama tersebut langsung mencantumkan nama saya sebagai verifikator lapangan. Ini yang tidak banyak diketahui orang sehingga meragukan saya.
Bacaini
Apa misi Anda dalam tugas itu
Kanthi
Saya ingin membantu media-media di daerah untuk terdaftar di dewan pers. Tanpa itu, mereka kesulitan membangun kerjasama dengan lembaga pemerintah. Sampai kapanpun saya tidak akan melupakan sejarah sebagai wartawan kecil yang disepelekan, termasuk menjadi gerandong. Karena saya memang bekas gerandong. Mari bekerja dengan cara yang baik dan benar. (HTW)