Bacaini.ID, KEDIRI – Soekarno atau Bung Karno meraih gelar insinyur Technische Hooheschool Bandung atau THS (sekarang ITB) pada 26 Mei 1926.
Pada masa menyelesaikan tugas akhir, Bung Karno diketahui banyak menghabiskan waktu di Ndalem Pojok Dusun Krapak Desa Pojok Kecamatan Wates Kabupaten Kediri Jawa Timur.
Bukan di Blitar yang berjarak 29 km dari Wates Kediri, atau Surabaya tempat HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus mertuanya.
Di salah satu kamar Ndalem Pojok Kediri, Bung Karno punya kebiasaan berkaca, mematut-matut diri di muka cermin klasik berbingkai kayu jati yang ada di sana.
Dalam menyelesaikan tugas akhirnya Bung Karno merancang desain jembatan yang kemudian diwujudkan di wilayah Kedak Kabupaten Kediri.
Jejak Penting Soekarno
Soekarno lahir 6 Juni 1901 di kawasan Jalan Peneleh, Kecamatan Genteng Kota Surabaya.
Lantaran Soekemi Sosrodihardjo (ayah Soekarno) kerap berpindah tugas, jejak masa kecil Bung Karno ada di sejumlah daerah di Jawa Timur.
Ayah Bung Karno diketahui seorang pendidik (guru) yang mengabdi hingga wafat di Blitar.
Seperti daerah lain, Kota Blitar awalnya hanya tempat bekerja. Kemudian menjadi tempat menetap karena putri sulungnya Soekarmini, kakak kandung Bung Karno, berjumpa jodoh di Blitar.
Dari pernikahan dengan Poegoeh, birokrat pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Soekarmini mewarisi rumah mewah yang kemudian dikenal sebagai Istana Gebang atau Ndalem Gebang.
Soekarmini yang menikah lagi dengan Wardoyo dan populer dengan panggilan Bu Wardoyo mengajak serta orang tuanya untuk hidup bersama di Ndalem Gebang.
Dihimpun dari berbagai sumber. Sebelum bertempat tinggal di Mojokerto, orang tua Soekarno diketahui pernah tinggal di daerah Kedungpring, Kabuh Kabupaten Jombang.
Saat itu Soekarno yang masih bernama Koesno atau Kusno dan diketahui memiliki kondisi kesehatan yang buruk, sakit-sakitan.
Hingga suatu hari penyakit malaria yang berkombinasi dengan disentri nyaris merenggut hidupnya.
Tentang malaria dan disentri ini Bung Karno ungkapkan dalam otobiografinya Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adam.
Kusno dalam kondisi antara hidup dan mati lantaran disentri dan malaria, oleh Soekemi dibawa ke Ndalem Pojok Kediri untuk menjalani pengobatan.
Soekemi dan putranya yang dalam keadaan sakit parah menemui RM Soerati Soemosewoyo atau Den Mas Mendung, guru spiritualnya.
Den Mas Mendung merupakan putra RM Pandji Soemohadmodjo atau Eyang Panji, bangsawan keraton Surakarta yang lari ke Jawa Timur pasca Perang Jawa (1825-1830).
Eyang Panji yang menikah dengan perempuan trah Bupati Kediri dan punya dua anak (RM Soerati Soemosewoyo dan RM Sayid Soemosewoyo) menetap di Pojok Kediri dan mendirikan Ndalem Pojok sekitar tahun 1862.
Proses penyembuhan Kusno dilakukan dengan ritual adat Jawa. Oleh Den Mas Mendung nama Kusno diubah menjadi Karno atau Soekarno.
Nama yang merujuk pada tokoh pewayangan Adipati Karno, saudara tua Pandawa.
Sejumlah sumber menyebut, legitimasi pengubahan nama Kusno jadi Soekarno itu selanjutnya dilakukan di tempat kakek Bung Karno di Tulungagung.
Soekarno sembuh dari sakitnya. Selama proses penyembuhan ia cukup lama di Ndalem Pojok dan Soekemi ayahnya selalu menungguinya.
Sejak itu bersama orang tuanya kerap wira-wiri dari Kabuh Jombang ke Kediri. Setiap libur sekolah, Soekarno selalu menghabiskan waktu di Kediri, ditemani utusan ayahnya.
Ia gemar bermain di sungai, mandi dan menangkap ikan, ke sawah memetik jagung muda untuk dibakar.
Soekarno mendapat luka membekas di dahi juga di Ndalem Pojok Kediri. Bekas luka yang disembunyikan dengan gaya berpeci miring kiri di kemudian hari.
Ia memanggil Den Mas Mendung dan RM Sayid Soemosewoyo dengan sebutan bapak dan menganggap mereka sebagai orang tua angkatnya.
Ndalem Pojok menjadi jejak penting masa kecil Soekarno, selain Tulungagung di mana ia diemong oleh Sarinah, pembantu kakeknya.
Inggit dan Ndalem Pojok
Bung Karno menikah muda dengan Utari, putri HOS Tjokroaminoto, bapak kosnya di Surabaya sekaligus guru politiknya.
Pernikahan itu diketahui tidak berumur panjang. Saat kuliah di Bandung, Soekarno jatuh hati kepada Inggit Garnasih, istri Sanusi, bapak kosnya.
Sanusi merupakan saudagar dan sekaligus tokoh Sarekat Islam (SI) Bandung, teman baik HOS Tjokroaminoto, yang saat itu masih menjadi mertua Soekarno.
Soekarno yang berstatus duda (setelah cerai dengan Utari) kemudian menikahi Inggit setelah dicerai oleh Sanusi.
Dalam buku Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno terungkap keluarga Bung Karno tidak hadir dalam pernikahan kedua itu.
Bahkan orang tua Bung Karno tidak hadir. Yang mewakili sekaligus jadi saksi pernikahan adalah keluarga Soemosewoyo, keluarga Ndalem Pojok Kediri.
Sebagai istri Bung Karno, Inggit kemudian lebih banyak berkomunikasi dengan keluarga Ndalem Pojok Kediri ketimbang Ndalem Gebang Blitar.
Inggit kerap mengunjungi Ndalem Pojok Kediri. Belajar ramuan jamu, obat-obatan dan racikan kosmetik kecantikan perempuan Jawa.
Intensitas kunjungan Inggit kian meningkat di awal Bung Karno kembali ditangkap dan dibuang ke Bengkulu dan kemudian bertemu Fatmawati.
Pada saat awal kemerdekaan, Bung Karno yang telah menjadi Presiden Pertama RI melakukan kunjungan resmi pertamanya ke daerah dan Ndalem Pojok Kediri jadi pilihannya.
Presiden Soekarno yang datang dari ibukota Yogyakarta menginap semalam di Ndalem Pojok. Protokoler dari TNI menyiapkan ranjang khusus untuk istirahatnya.
Ranjang besi spiral itu kabarnya berasal dari salah satu kamar sebuah Loji di kawasan perkebunan anggrek di lereng Gunung Kelud.
Saat kembali ke Yogyakarta Bung Karno mengajak 3 orang keluarga Ndalem Pojok, yakni 2 orang laki-laki dan satu perempuan, salah satunya RM Sayid Soemosewoyo.
Ketiganya bertempat tinggal di Istana Negara Yogyakarta. Bung Karno mengangkat RM Sayid Soemosewoyo sebagai Kepala Rumah Tangga Istana sekaligus penasehat spiritualnya.
Soekarno yang lahir 6 Juni 1901 wafat pada 21 Juni 1970 di Jakarta dan atas perintah Presiden Soeharto dimakamkan di Kota Blitar.
Penulis: Solichan Arif