Bacaini.id, NGANJUK – Masjid AL-Mubarok adalah salah satu masjid tertua di Kabupaten Nganjuk yang dibangun pada tahun 1745 atau bertepatan tahun 1818 Masehi. Didirikan oleh bupati pertama, masjid ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemprov Jatim, 2016 lalu.
Masjid berdiri di Desa Kacangan, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk ini didirikan oleh bupati pertama, Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo I atau lebih dikenal dengan sebutan Kanjeng Jimat. Kala itu, pusat pemerintahan masih berada di Kecamatan Berbek.
Masjid AL-Mubarok memiliki arsitektur bernuansa Hindu Jawa dan Islam yang dibangun oleh Kanjeng Jimat sebagai tempat beribadah sekaligus menjadi tempatnya mensyiarkan agama Islam. Di mana saat itu, mayoritas penduduk masih memeluk agama Hindu.
“Karena kedatangan Islam di sini akhirnya orang-orang Hindu itu juga banyak yang mengikuti Islam. Akhirnya Kanjeng Jimat mendirikan masjid di sini,” kata Takmir Masjid AL-Mubarok, Muhammad Sururi saat ditemui Bacaini.id, Kamis, 6 April 2023.
Akulturasi memang sangat terasa di masjid AL-Mubarok, seperti pintu masuk masjid dengan ukiran menyerupai Buta Kala yang jika dilihat lebih teliti ternyata berbentuk bunga dan dedaunan. Ada Lingga Yoni yang diubah menjadi jam matahari sebagai penunjuk waktu salat serta jodang atau puri sesaji, saat ini difungsikan sebagai tempat menyimpan Al Quran.
Di balik itu semua, terdapat kisah yang cukup menarik pada saat pembangunan Masjid AL-Mubarok. Diceritakan Sururi, kala itu salah seorang tukang bangunan berniat pulang mengambil ungkal atau alat pengasah miliknya yang tertinggal di rumah.
Merasa kasihan jika tukang bangunan itu harus jauh-jauh pulang hanya untuk mengambil ungkal, Kanjeng Jimat secara spontan menunjuk sebuah batu yang ada di dekatnya. Kemudian Sang Bupati Berbek itu meminta tukangnya mengasah peralatan pada batu yang dia tunjuk.
“Tukang itu pamit untuk pulang mengambil ungkal. Dari pada jauh-jauh karena rumah tukang itu di Jepara sana akhirnya Kanjeng Jimat bilang, ini ada ungkal di sini, sambil menunjuk batu di sebelahnya. Tiba-tiba batu yang ditunjuk itu sudah menjadi ungkal,” cerita Sururi.
Tidak hanya sekedar berkisah, Sururi juga menunjukkan keberadaan batu yang menjadi ungkal itu benar-benar nyata. Bahkan hingga kini, ungkal yang memiliki panjang sekitar satu meter dan lebar 50 sentimeter itu masih terawat dengan baik tepat berada di sisi selatan bangunan masjid.
Sekarang, ungkal yang oleh masyarakat disebut sebagai Ungkal Ajaib itu jika dilihat secara teliti terdapat garis bekas gergaji. Diyakini, bekas gergaji tersebut akibat ulah seseorang yang berniat mencuri, namum gagal.
“Dulu pernah mau diambil orang, tapi tidak jadi karena orangnya sakit terus meninggal dunia. Itu kan ada tandanya seperti garis, lah itu dulu digergaji,” ujar Sururi sambil menunjukkan garis yang disebutnya sebagai bekas gergaji.
Cerita lain dari Masjid AL-Mubarok dikisahkan Sururi terjadi pada masa pemerintahan Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo III yang diperkirakan menjabat sebagai bupati ketujuh. Bupati Berbek itu memindahkan pusat pemerintahan dari Berbek ke Nganjuk. Dikenal dengan sebutan Boyong, peristiwa bersejarah itu terjadi pada 6 Juni 1880.
Tentu saja tidak hanya para pejabat yang berpindah kantor, di pusat pemerintahan yang baru itu juga dibangun sejumlah infrastruktur. Salah satu diantaranya adalah pembangunan Masjid Agung Baitus Salam yang berdiri tepat di sebelah barat Alun-alun Nganjuk.
Pada peristiwa Boyong ini, konon, bedug Masjid AL-Mubarok ikut dipindah ke Masjid Agung Baitus Salam. Keanehan pun terjadi, bedug yang sebelumnya baik-baik saja, tiba-tiba tidak berbunyi saat ditabuh.
“Karena ada kejadian itu akhirnya diputuskan untuk mengembalikan bedug itu ke Masjid AL-Mubarok, sementara di Masjid Agung Baitus Salam dibuatkan bedug yang baru,” ujar Sururi.
Tidak berhenti disitu, lanjut Sururi, mimbar penuh ukiran yang juga ikut diboyong ke Masjid Agung Baitus Salam, secara tiba-tiba menghilang tepat pada keesokan harinya. Ketika dicari, mimbar tersebut sudah berada di lokasi semula, di Masjid AL-Mubarok.
Anehnya, saat itu tidak ada yang mengaku mengembalikan mimbar tersebut ke tempat asalnya. Karena bukan pertama kali keanehan dalam peristiwa Boyong ini terjadi, masyarakat mempercayai bahwa mimbar tersebut kembali sendiri ke tempat asalnya.
“Akhirnya dibuatkan mimbar baru dan sengaja dibuat berbeda. Kuluk atau mahkota di Masjid Nganjuk dibuat kroak (separuh) untuk membedakan dengan mimbar yang ada di Masjid Berbek,” tandasnya.
Hingga kini masjid AL-Mubarok dan makam Kanjeng Jimat yang berada di satu kawasan ini masih ramai oleh pengunjung, terlebih pada bulan Ramadan. Tidak hanya masyarakat Nganjuk dan sekitarnya, pengunjung dan peziarah juga berdatangan dari luar daerah.
Penulis: Asep Bahar
Editor: Novira