Bacaini.id, KEDIRI – Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi dalam Pemilu 1955 bersaing ketat. PNI berazas dan berideologi Marhaenisme, sedangkan Masyumi mengusung ideologi Islamisme.
Dalam konteks politik nasional, PNI, PKI dan NU bersatu dalam payung koalisi Nasakom (Nasionalis, Komunis dan Agama). Sedangkan Masyumi yang bersekutu dengan PSI, memilih berdiri sebagai oposisi.
Pada Pemilu 1955, hampir di seluruh wilayah eks karesidenan di Jawa Timur, yakni terutama di Kediri, Surabaya dan Madiun, persaingan kedua partai dalam berebut suara rakyat berlangsung tajam, dan PNI menjadi juaranya.
Dilansir dari buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1971), perolehan suara PNI di wilayah eks karesidenan Kediri sebesar 455.000 suara, sedangkan Masyumi hanya 155.000 suara.
Dari total perolehan suara PNI di Jawa Timur, dukungan suara di wilayah eks karesidenan Kediri merupakan yang tertinggi.
Sementara satu-satunya kemenangan Masyumi di Jawa Timur hanya di wilayah eks karsidenan Bojonegoro dan Madura. Di Bojonegoro, Masyumi meraup 300.000 suara, sedangkan PNI hanya mendapat 155.000 suara.
Di Pulau Madura, Masyumi mendapat dukungan 134.000 suara dan PNI hanya meraup dukungan 88.000 suara.
Yang tidak banyak diketahui, sebelum PNI dan Masyumi menjadi lawan politik yang nyaris abadi, kedua partai pernah berkoalisi. PNI dan Masyumi pernah bekerja sama.
Koalisi PNI-Masyumi berlangsung pada masa Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo (1951-1952). Sukiman diketahui menggantikan Moh Natsir yang menjabat perdana menteri Indonesia sekitar tujuh bulan.
Sukiman yang lahir di Surakarta 19 Juni 1898 merupakan salah satu pendiri Masyumi yang juga sekaligus Ketua Umum Masyumi pertama. Pandangan politik Sukiman dan Natsir di Masyumi, selalu berseberangan.
Koalisi Masyumi-PNI di dalam Kabinet Sukiman membuat Presiden Soekarno atau Bung Karno senang. Kabinet tidak mengakomodasi para tokoh pengeritik Soekarno.
“Tak seorang pun pengikut Natsir di dalam Masyumi atau pimpinan PSI masuk di dalamnya (kabinet),” demikian dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2001).
Koalisi Masyumi-PNI dalam kabinet Sukiman dengan cepat populer, tapi tak disukai Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI kecewa dengan PNI yang ternyata bersedia berkoalisi dengan Masyumi.
Yang membuat marah, Sukiman melakukan usaha yang serius dalam menumpas PKI. Orang-orang PKI yang ketar-ketir dengan koalisi Masyumi-PNI mencoba melakukan berbagai manuver politik offensif.
Pada Juni-Agustus 1951 serangkaian pemogokan terjadi. Kemudian muncul insiden pelemparan granat pada kerumunan massa di Bogor dan gerombolan bersenjata berlencana palu arit menyerang sebuah pos polisi.
Yang terjadi PKI malah semakin terpojok. Pemerintah Indonesia memutuskan PKI bersalah. Tanpa berkonsultasi dengan tentara, pemerintah memerintahkan penangkapan besar-besaran. Pada 11 Agustus 1951 pimpinan PKI di Medan ditangkap.
Beberapa hari berikutnya penangkapan besar-besaran berlangsung di Jakarta, termasuk 16 anggota parlemen. Para tokoh PKI, yakni Aidit, Lukman dan dan Njoto memutuskan bersembunyi.
“Pada akhir bulan Oktober pemerintah menyebut angka 15.000 (orang yang ditangkap)”.
Menghadapi situasi politik yang tidak menguntungkan itu, para pimpinan PKI yang dikomandani D.N Aidit seketika mengubah strategi perjuangan. PKI mencoba memperbaiki hubungan dengan kaum nasionalis.
Didirikanlah Front Persatuan Nasional di mana lebih banyak menggunakan slogan-slogan kaum nasionalis. PKI lebih mengedepankan slogan-slogan nasionalis daripada tuntutan kesadaran kelas.
Hal itu untuk menetralisir kekuatan-kekuatan non komunis. Pada sisi lain, para pimpinan PKI lebih mendekatkan diri kepada Soekarno dari pada dengan PNI. Strategi PKI pun berhasil.
Pada akhir tahun 1952 jumlah anggota partai dari 100.000 menjadi 126.671. Pada Maret 1954, jumlah anggota partai meningkat lagi menjadi 165.206. Pada saat yang sama peristiwa pemberontakan Kahar Muzakkar berimbas tergulingnya Kabinet Sukiman.
Sukiman dianggap gagal mengatasi masalah Kahar. Kemudian ditambah ditemukannya perjanjian diam-diam antara menteri luar negeri, yakni dari Masyumi dengan Amerika Serikat yang mengikat Indonesia.
Temuan perjanjian dengan Amerika Serikat itu membuat kegaduhan politik yang disusul seluruh anggota kabinet Sukiman meletakkan jabatan.
Sejarah mencatat, koalisi PNI-Masyumi kembali terjadi pada kabinet Wilopo dari PNI (April 1952-Juni 1953). Namun koalisi politik yang sejak awal kurang bersemangat serta penuh ketegangan itu, pada akhirnya juga bubar.
Penulis: Solichan Arif