Bacaini.ID, JAKARTA – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda industri media massa Indonesia memicu kekhawatiran tentang masa depan jurnalisme nasional. Negara dituntut untuk melindungi pers nasional demi menciptakan literasi yang berkualitas.
Dr. Irwa Rochimah Zarkasi, S.E., M.Si., dosen Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), menegaskan perlunya peran aktif pemerintah dalam mengatasi krisis ini. “Kita butuh kebijakan yang tidak hanya mengatur dan membatasi, tetapi juga melindungi masa depan jurnalisme Indonesia,” ujarnya dalam diskusi virtual, Jumat, 4 Mei 2025.
Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, kondisi pekerja media pada 2025 masih menghadapi sejumlah tantangan serius. Nany Afrida, Ketua AJI Indonesia, mencatat banyak jurnalis masih menerima upah di bawah standar kelayakan. Selain itu status kepegawaian mereka juga tidak jelas.
“Disrupsi digital telah mengubah lanskap media secara fundamental. Perusahaan media kehilangan pendapatan iklan karena beralih ke platform media sosial. Ironisnya, pejabat negara kini lebih memilih menggunakan media sosial pribadi untuk siaran pers dan branding, yang justru menghasilkan pendapatan bagi mereka,” kata Irwa.
Tantangan lain datang dari teknologi AI yang semakin canggih. Otomatisasi dalam produksi konten dan desain grafis telah mendorong efisiensi yang berujung pada pengurangan tenaga kerja. Media sosial yang mampu menyebarkan informasi lebih cepat dibanding press release konvensional juga menjadi tantangan tersendiri.
Kajian yang dilakukan Irwa dari fenomena ambruknya bisnis media massa ini dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya; anjloknya pendapatan iklan media konvensional, dominasi platform media sosial dalam konsumsi berita, pejabat dan instansi negara yang memilih media sosial untuk siaran pers dan branding, penetrasi teknologi AI yang mengancam peran jurnalis, serta kecepatan media sosial dalam menjangkau pembaca. “Di sini media siber harus meningkatkan aktivitasnya di media sosial,” katanya.
Solusi dari masalah ekonomi-media, menurut Irwa, adalah menerapkan Ekonomi Pancasila. Negara harus memiliki peran besar untuk melindungi pers nasional demi menciptakan literasi yang berkualitas dan mencerdaskan bangsa. “Ini bukan sekadar masalah industri media, tapi menyangkut masa depan demokrasi kita. Tanpa jurnalisme yang sehat dan berkelanjutan, kualitas informasi publik akan terancam dan berimbas pada generasi mendatang,” kata Irwa.
Beberapa solusi yang ditawarkan melalui pendekatan Ekonomi Pancasila adalah:
- Program rumah subsidi untuk jurnalis
- Tarif khusus kuota internet untuk pekerja media dari penyelenggara jasa telekomunikasi (Telkomsel, Indosat, Smart-XL)
- Pembatasan dan pengaturan kepemilikan media oleh elit politik yang justru menurunkan kualitas berita
- Pengembangan data center nasional berbiaya murah untuk media siber
- Standarisasi upah dan kesejahteraan jurnalis
- Kemandirian ekonomi media dengan tidak tergantung pada kepentingan asing atau bantuan asing, diversifikasi sumber pendapatan, pemberdayaan sumber daya lokal
- Pembatasan usia penggunaan media sosial, yang saat ini telah dilakukan oleh Komdigi untuk anak-anak harus diiringi dorongan kepada anak-anak agar meningkatkan literasi kepada media siber (koran atau majalah online) melalui tugas-tugas sekolah/perkuliahan. Batasi tugas-tugas anak-anak menggunakan media sosial.
- Program peningkatan literasi digital masyarakat untuk semua lapisan masyarakat
- Dukungan untuk transformasi digital media mainstream dengan intensif pajak, penyediaan collocation dan hosting yang murah di dalam negeri
- Regulasi yang melindungi hak-hak pekerja media
- Insentif untuk media yang menerapkan jurnalisme berkualitas
- Standarisasi profesional dengan sertifikasi kompetensi jurnalis melalui Dewan Pers, penguatan etika jurnalistik dan peningkatan kapasitas investigasi
- Inovasi konten dengan pengembangan format multimedia, jurnalisme data berbasis Big Data dan AI dan kolaborasi lintas platform
- Kebijakan protektif seperti regulasi platform digital asing, perlindungan hak cipta konten dan standarisasi iklan digital
- Peran aktif Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Transformasi digital memang tak terelakkan, namun dengan pendekatan ekonomi-media yang Pancasilais, industri media nasional diharapkan dapat beradaptasi tanpa mengorbankan kualitas jurnalisme dan kesejahteraan para pewarta. “Tanpa kebijakan yang melindungi, masa depan jurnalisme Indonesia terancam. Kita butuh keseimbangan antara inovasi teknologi dan kesejahteraan pekerja media,” tegas Irwa.
Sementara itu, sentimen publik di media sosial menunjukkan keprihatinan yang mendalam. Berdasarkan analisis ISA (Intelligence Socio Analytics), 32,89% netizen menyuarakan sentimen negatif terhadap situasi ini. Sementara 39,62% bersikap netral, dan 27,48% tetap optimis dengan solusi yang ditawarkan.
Penulis: Danny Wibisono
Editor: Hari Tri Wasono