Sejak peristiwa perampokan Museum Gajah pada tahun 1963, nama Kusni Kasdut yang pernah berjuang di garda depan peristiwa 10 November 1945, lebih dikenal sebagai penjahat kelas kakap.
Aksinya ditakuti. Tidak hanya merampok museum nasional, ia juga pernah menembak mati polisi Semarang, menculik dokter Tionghoa di Surabaya, membunuh miliader keturunan Arab di Jakarta, dan berkali kali kabur dari penjara.
Di dalam penjara yang kesekian kali menyekapnya, Kusni sempat melakukan perenungan mendalam.
“Apakah sesungguhnya yang kukejar selama ini? Harta?. Telah kuserahkan di Madiun. Tujuh kilo emas-berlian. Uang? Telah kuhamburkan di Surabaya dan telah sia sia. Di Semarang. Kehormatan? Kakiku adalah medali yang tak tercabut kekuasaan? Apakah itu? Apakah itu?”.
Kusni berfikir, revolusilah yang mengajarinya merampok. Kusni sempat bertanya tanya. Apa bedanya merampok di Gorang Gareng Madiun dengan museum negara. Apa bedanya merampok keluarga Tionghoa, keluarga Indonesia dan merampok museum milik rakyat Indonesia?.
“Dia sampai kepada kesimpulan dan keyakinan penuh bahwa tidak ada bedanya. Berlian adalah berlian. Merampok adalah merampok,” tulis Daniel Dhakidae dalam Menerjang Badai Kekuasaan.
Pada 10 November 1979, Presiden Soeharto tak mengabulkan permohonan grasi yang diajukan. Pada 6 Februari 1980 Kusni Kasdut menjalani vonis eksekusi hukuman mati.
Tiga butir peluru tajam yang menembus dada dan lima bersarang di perut, menghentikan nafas Kusni Kasdut. Sejarah kemudian lebih mengenang namanya sebagai penjahat legendaris daripada bekas pejuang peristiwa 10 November 1945.
Penulis: Solichan Arif