Bacaini.ID, BLITAR – Hari lahir Pancasila atau Grebeg Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni dan itu melekat pada sosok Soekarno atau Bung Karno.
Mengacu pada nilai-nilai Pancasila, Pemerintah Indonesia di awal kemerdekaan menerbitkan UU No 13 Tahun 1946 yang salah satu klausulnya menghapus status Desa Perdikan.
Pemerintah di bawah kepemimpinan Soekarno ingin seluruh desa di wilayah Indonesia memiliki kedudukan yang sejajar. Tidak ada hak Istimewa yang melekat pada desa tertentu.
Di wilayah Kabupaten Blitar Jawa Timur, salah satu desa yang pernah memiliki status desa perdikan adalah Desa Begelenan Kecamatan Srengat.
Kemudian juga Desa Plumbangan Kecamatan Doko dan konon juga Desa Pikatan Kecamatan Wonodadi.
Desa Perdikan
Sebuah wilayah desa yang penduduknya mendapat hak istimewa terbebas dari kewajiban membayar pajak. Itulah Desa Perdikan.
Kepala desa yang memimpin sebuah desa perdikan dipilih secara turun temurun. Berbeda dengan desa pada umumnya, yang dipilih oleh rakyat.
Sesuai Bijblad No 7847 tahun 1912, jumlah desa perdikan pada masa kolonial Belanda di Jawa sebanyak 170 desa dan 13 pedukuhan.
Keberadaan Desa Perdikan tersebar mulai wilayah Semarang (10 desa), Rembang (1 desa), Surabaya (4 desa), Madura (19 desa dan 13 pedukuhan), Banyumas (41 desa), Kedu (70 desa), Madiun (19 desa) hingga Kediri (6 desa).
Soetardjo Kartohadikoesoemo dalam buku Desa (1984) menyebut perdikan berasal dari kata merdika. Kata itu bersumber dari bahasa sansekerta, Maharddhika yang berarti Tuan, Tuanku, Meester, Sir.
Dalam kitab Kawi Ramayana, Maharddhika dipakai untuk menyebut seorang ulama atau pendeta.
“Dalam makna yang lebih dalam maka maharddhika (merdika) berarti bebas dari hidup lahir, yaitu merdeka terhadap diri pribadi…,” tulis Soetardjo Kartohadikoesoemo.
Status desa perdikan di Jawa dan Madura diketahui sudah berlangsung lama.
Desa Perdikan sudah ada sejak kekuasaan kerajaan Hindu Budha dan berlanjut hingga Mataram Islam.
Status perdikan berasal dari pemberian raja kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa kepada kerajaan. Orang-orang kesayangan raja.
Mereka awalnya diberi hak khusus membuka hutan belukar yang kemudian dalam perjalanannya menjadi sebuah wilayah desa.
Raja kemudian menunjuk salah satu dari mereka menjadi pimpinan desa atau kepala desa.
Penghapusan Desa Perdikan
Rakyat desa perdikan tidak berkewajiban membayar pajak. Namun ada kewajiban lain yang harus selalu ditaati.
Kades dan rakyat di desa perdikan wajib memajukan agama, memelihara makam raja-raja atau orang lain yang dimuliakan atau dianggap keramat.
Mereka juga berkewajiban memelihara pertapaan, pesantren, langgar, dan masjid (pada masa masuknya Islam).
Status perdikan membuat desa memiliki relasi kekuasaan yang bersifat khusus. Kades bertanggung jawab langsung kepada raja, bukan pangeran, adipati maupun bupati.
“Raja berhak untuk merubah adanya hak-hak istimewa dan juga berhak mencabutnya,” tulis Soetardjo Kartohadikoesoemo.
Pada 24 Mei 1836, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan resolusi No 12 yang khusus mengatur pergantian kades desa perdikan.
Calon pengganti kades Desa Perdikan yang meninggal dunia atau berhalangan tetap diajukan oleh pegawai pemerintah. Calon yang dipilih untuk diajukan pertama-tama dari anak laki-laki atau keturunan lain.
Jika tidak ada yang memenuhi persyaratan itu, pencalonan bisa dipilih dari sanak saudara terdekat atau ulama terkemuka.
Ketentuan Staatsblad 1878 No 47 menyebut pengangkatan dan pemberhentian kades Perdikan dilakukan oleh Gubernur Jenderal.
Pemerintah Kolonial Belanda dalam pengawasannya mendapati praktek penyelewengan kekuasaan oleh para Kepala Desa Perdikan.
Banyak Kepala Desa Perdikan menguasai tanah pertanian yang luas di desa, di mana asal-usul perolehannya tidak bisa dijelaskan.
Tidak heran kalau pada masa kekinian terdapat sejumlah keluarga sebagai tuan tanah (pemilik tanah luas) di desa yang ketika ditelusur masih keturunan kepala desa lama.
Pada tahun 1873 Pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan penyelidikan secara khusus dan diperoleh hasil yang mengejutkan.
Pemerintah menjumpai kesenjangan sosial ekonomi yang tajam antara Kepala Desa Perdikan dan rakyatnya. Mayoritas rakyat desa tidak memiliki hak kepemilikan tanah.
Sebagian besar tanah di desa dikuasai sebagai hak milik oleh Kepala Desa Perdikan.
“Pada umumnya keadaan rakyat di desa-desa itu (Desa Perdikan) menyedihkan, terutama oleh karena mereka tidak mempunyai hak yang tetap atas tanah. Hak itu adalah di tangan kepala desa,” tulis Soetardjo Kartohadikoesoemo.
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda memutuskan memulai proyek penghapusan status Desa Perdikan dan dilakukan bertahap.
Pemerintah merogoh kocek yang tidak kecil untuk mensukseskan penghapusan status Desa Perdikan. Proyek berlanjut hingga tahun 1921.
Penghapusan status Desa Perdikan diketahui sepenuhnya bisa diwujudkan pada awal kemerdekaan di masa Pemerintahan Soekarno.
Penulis: Solichan Arif