Bacaini.id, KEDIRI – Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S PKI membuat orang-orang Nahdlatul Ulama (NU) sontak melakukan konsolidasi sekaligus bersiaga penuh.
Hal itu mengingat jelang G30S PKI, orang-orang NU tidak berhenti terlibat bentrok fisik dengan orang-orang PKI BTI, Pemuda Rakyat dan Lekra yang getol melancarkan provokasi politik.
Terutama di wilayah karesidenan Kediri. Para pemuda Ansor NU terus bergesekan dengan orang-orang PKI yang secara beringas melakukan aksi sepihak dengan dalih melaksanakan program landreform.
Kasus bentrokan antara orang-orang PKI dan Ansor NU di Kediri sempat dibawa ke Jakarta, di mana Ketua PBNU Idham Chalid oleh Presiden Soekarno sempat diminta menjelaskan semuanya.
Karenanya begitu mendengar G30S PKI atau Gestapu meletus di Jakarta, NU beserta seluruh badan otonomnya (banom), yakni khususnya di Jawa Timur, langsung merapatkan barisan.
Di wilayah karesidenan Kediri, pertemuan yang berlangsung pada 1 Oktober 1965 itu dilakukan di Pimpinan Cabang NU (PCNU) masing-masing.
“Hal itu terjadi di PCNU Trenggalek, Blitar, Malang, Tulungagung, Kediri, Jombang dan sebagainya,” demikian dikutip dari buku Benturan NU-PKI 1948-1965 (2013).
Meski secara nasional berada di urutan ketiga, perolehan suara NU di wilayah Jawa Timur (Jatim) adalah yang terbesar. Dilansir dari catatan peneliti asing Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1971).
Perolehan suara NU di Jawa Timur merupakan yang tertinggi, yakni 3.370.554 suara. Dukungan suara rakyat kepada partai yang distereotipkan PKI sebagai partai santri itu mengalahkan empat partai besar lainnya.
Di bawah NU, PNI dengan perolehan 2.251.069 suara menempati urutan kedua. Sementara PKI dengan perolehan 2.299.602 suara berada pada posisi ketiga. Sedangkan Masyumi pada posisi keempat meraup 1.109.742 suara.
Kantong suara terbesar NU di Jawa Timur berada di wilayah karesidenan Besuki (sekarang Tapal Kuda), yakni pada Pemilu 1955 mendapat 699.000 suara dan sekaligus menempatkan yang tertinggi. Di karesidenan Besuki, PNI meraup 380.000 suara, PKI 232.000 suara dan Masyumi 150.000 suara.
Perolehan suara NU di Surabaya sebanyak 431.000 suara dan sekaligus menempatkan NU pada posisi tertinggi. Di Surabaya PNI meraih dukungan 265.000 suara, PKI 231.000 suara dan Masyumi 117.000 suara.
Di Madura, perolehan suara NU sebanyak 59.000 suara, yakni kalah dengan Masyumi yang mendapat dukungan 134.000 suara. Adapun PNI mendapatkan 88.000 suara dan PKI hanya 3.000 suara.
Sementara di karesidenan Kediri, NU yang mendapat 366.000 suara masih kalah dengan perolehan PKI dan PNI, yakni masing-masing 457.000 suara dan 455.000 suara. Sedangkan perolehan suara Masyumi sebanyak 155.000 suara.
Di karesidenan Madiun, perolehan suara NU berada di urutan paling buncit, yakni 92.000 suara, bahkan masih kalah dengan Masyumi yang meraup 137.000 suara. Sebaliknya PKI dengan perolehan 447.000 suara (di Madiun) menempati urutan pertama.
Di karesidenan Bojonegoro, perolehan suara NU juga paling bawah, yakni 131.000 suara. Urutan perolehan suara tertinggi ditempati Masyumi sebanyak 300.000 suara. Sedangkan posisi kedua dan ketiga ditempati PKI dan PNI yang masing-masing meraup 289.000 suara dan 155.000 suara.
Dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI pada tahun 1960, yakni karena terlibat pemberontakan PRRI/Permesta, praktis lawan terkuat PKI tinggal NU dan tentara
Karenanya, situasi hari-hari terdekat pasca peristiwa G30S PKI, yakni khususnya bagi orang-orang NU Jawa Timur, terasa lebih menegangkan. Meski berkembang spekulasi PKI berada di belakang peristiwa Gestapu, namun informasi itu masih simpang siur.
Pada 3 Oktober 1965, sembari menunggu kabar dan komando dari PBNU Jakarta, PWNU Jawa Timur mengumpulkan seluruh pengurus cabang NU untuk membahas situasi yang terjadi.
“Para ulama dan aktivis Ansor yang sudah berpengalaman menghadapi manuver PKI itu berkesimpulan dengan pasti bahwa pelaku Gerakan 30 September dan penggagas Dewan Revolusi itu adalah PKI”.
Pada 5 Oktober 1965, yakni setelah melalui berbagai petimbangan, PBNU secara resmi menerbitkan Resolusi Mengutuk Gestapu yang berisi tiga poin keputusan.
Di antaranya memutuskan kepada Presiden selaku Panglima Tertinggi ABRI (sekarang TNI) atau Pemimpin Besar Revolusi agar membubarkan PKI beserta semua ormas yang terlibat dalam Gerakan 30 September.
NU juga memohon kepada Presiden Panglima tertinggi ABRI mencabut izin terbit semua surat kabar yang secara langsung dan tidak langsung membantu Gerakan 30 September.
Pada poin ketiga, NU menyerukan kepada seluruh umat Islam dan segenap kekuatan revolusioner lain untuk membantu ABRI di dalam usahanya mengembalikan ketertiban yang terdampak Gerakan 30 September.
Setelah menerima pernyataan PBNU melalui Resolusi Mengutuk Gestapu, NU di Jawa Timur, terutama orang-orang Ansor Banser sontak bergerak melakukan pembersihan orang-orang PKI di daerahnya masing-masing.
“Pasukan Ansor dan Banser bergerak sendiri secara cepat dan melakukan penangkapan terhadap para tokoh PKI yang ada di daerah mereka,” demikian dikutip dari Benturan NU-PKI 1948-1965.
Penulis: Solichan Arif