Bacaini.ID, KEDIRI – Ratusan santri dari berbagai pondok pesantren di Jawa dan Madura mendukung upaya pemerintah merampas aset para koruptor. Menurut mereka, merampas harta pejabat terduga korupsi dibenarkan dalam hukum Islam.
KH Iffatul Lathoif, pengasuh Ponpes Al Falah Ploso, Mojo, Kediri yang menjadi tuan rumah Bahtsul Masail, yakni forum diskusi santri dalam memecahkan masalah di bidang Nahwu, Shorof dan Fiqih mengatakan, keputusan-keputusan sidang yang dilakukan menandai pentingnya pesantren dalam merespons fenomena sosial yang berkembang.
“Bahtsul Masail adalah ruang pesantren menjaga nalar publik. Pesantren tidak boleh diam ketika masyarakat berhadapan dengan masalah hukum, moral, dan sosial,” ujarnya, Jumat, 21 November 2025.
Ia mengatakan RUU Perampasan Aset yang tengah dibahas pemerintah adalah contoh isu yang membutuhkan ketegasan hukum Islam agar masyarakat mendapatkan kepastian moral dan yuridis.
Musyawarah tersebut mempelajari seluruh mekanisme yang tercantum dalam deskripsi, termasuk asset tracing, penyitaan tanpa putusan pengadilan, pembuktian terbalik, dan eksekusi aset oleh negara.
Hasilnya, para delegasi pondok pesantren sepakat bahwa merampas aset pejabat terduga korupsi adalah dibenarkan dalam hukum Islam. Musyawarah ini merujuk pada literatur fiqh, antara lain al-Bahr ar-Ra’iq, al-Qawa’id az-Zarqa, dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah, yang membolehkan penyitaan harta pejabat negara bila terdapat indikasi kuat diperoleh melalui jabatan atau praktik tidak sah.
Dalam rujukan Imam Zarka dinyatakan bahwa indikasi lahiriah dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum, terutama dalam kasus korupsi yang sulit dibuktikan secara langsung.
Musyawarah juga menegaskan agar perampasan aset tidak disalahgunakan, dengan menyempurnakan regulasi agar tidak tumpang tindih,membentuk lembaga pengawas independen, dan melakukan pelacakan aset dengan transparansi penuh.
Mereka juga menilai bahwa alasan “potensi ketidakadilan bagi keluarga” belum berdasar secara fiqh, karena harta yang diperoleh melalui jalan haram wajib dikembalikan kepada negara atau publik.
Penulis: A.K. Jatmiko
Editor: Hari Tri Wasono





