Tidak terasa masa pandemi sudah memasuki bulan ke lima. Di Indonesia udah mencapai 100.000 orang yang terinfeksi virus ini. Berbagai opini, wacana dan hujatan dikemukakan. Berbagai kebijakan dan langkah pencegahan terlah di implementasikan. Berbagai untaian doa dan harapan terlah dilantunkan lagi dipanjatkan. Untuk kemananan dan kesembuhan mereka yang terkena pendemi virus corona dan semoga pandemi ini cepat diselesaikan oleh yang Maha Menyembuhkan dan Maha Menentukan.
Beragam dampak yang terjadi akibat pandemi mulai menghantui. Baik dampak positif maupu negatif. Sekian banyak dampak negatif telah di klasifikasi, dari dampak kesehatan, politik, sosial hingga ekonomi.
Namun, sekian dampak positif yang hadir juga penting untuk dicermati.
Di masa pendemi yang melahirkan kebijakan adaptasi kebiasaan baru, nilai-nilai ekonomi Islam yang dahulu telah di ajarkan oleh Nabi dalam kehidupan sehari-hari seolah menemukan relevansinya dan “harus” kembali membumi.
Setidaknya dampak dari pendemi covid-19 ini menjadikan kita “ingat kembali” akan empat hal penting dari nilai-nilai ekonomi Islam yang telah di contohkan oleh nabi, yaitu: pertama, banyak berdoa dan berserah dari pada berkeluh kesah.
Kedua, banyak bermitra daripada berlomba-lomba. Ketiga, banyak berderma daripada berfoya-foya. Keempat, banyak diam daripada mendendam.
Banyak Berdoa daripada berkeluh-kesah
Dalam masa pendemi yang memang tidak mudah ini, kita di ajarkan untuk senantiasa berdoa dan berserah kepada yang Maha Kuasa. Sebab rejeki, kesehatan dan kemanan berasal dari pihak yang bukan kita, yaitu yang Maha Kuasa. Orang bijak bilang, “rezeki sudah ada yang mengatur” meskipun kadang tidak teratur.
Setidaknya dengan kondisi yang tidak normal ini, kita sadar dan insaf bahwa jiwa dan fisik kita sangat rentan (fragile), rapuh dan lemah.
Tidak mampu menjamin rezeki untuk diri sendiri, menjamin kesehatan untuk diri sendiri atau bahkan “mengamankan” diri sendiri.
Maka dalam kondisi ini, penting untuk senantiasa berdoa, sebab doa adalah vitamin jiwa, dan satu-satunya senjata ampuh penahan gelombang bencana.
Dalam Authentic Happiness Karya Martin Seligman (2004), dinyatakan bahwa mereka yang senantiasa menciptakan bahasa positif; baik dalam tulisan, ungkapan dan tindakan, cenderung memiliki umur lebih panjang dan memiliki jiwa yang tenang. Bukankah doa berisi bahasa positif yang berguna untuk diri kita?, maka marilah “memperpanjang umur” dengan berdoa dan berserah tinimbang dengan berkeluh kesah. Kata Nabi, Doa adalah senjata utama orang-orang yang beriman. Dengannya pula, nasib seseorang bisa di atur ulang, pada nasib yang lebih baik, meskipun dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Banyak Bermitra daripada berlomba-lomba
Pelajaran besar yang dapat di ambil dari adanya pandemi salah satunya adalah pentingnya untuk bermitra dan meninggalkan jauh-jauh perilaku berlomba-lomba, dalam arti negatif.
Berlomba-lomba dalam kebajikan adalah hal positif yang perlu dilestarikan. Namun jika berlomba-lomba yang dilakukan untuk sekedar pamer (show-off) dan menampakkan kedigdayaan, hal inilah yang perlu dikikis di masa pandemi.
Pandemi meluluhlantakkan seluruh sendi dan sektor kehidupan. Masing-masing pihak tidak mampu menghadapi ujian ini dengan dirinya sendiri, namun diperlukan upaya kolektif dan kemitraan.
Penguasa membutuhkan pemuka agama, pengusaha, tenaga kesehatan dan juga solidaritas rakyat dalam penanggulangan bencana pandemi. Tidak satu pihakpun mampu untuk menyelesaikan bencana ini.
Maka dari itu, tepat jika Ibn Khuldun salah seorang sosiolog Islam tekemuka menyatakan bahwa, Manusia secara natural adalah mahluk sosial, yang saling membutuhkan antar yang satu dengan yang lain (al-insanu madaniyyun bi at-thab’i). Adapun upaya dalam meraih cita-cita luhur, dalam konteks ini merah cita-cita agar pandemi cepat berakhir, memburuhkan solidaritas dan kolektifitas bersama, dalam bahasa Ibn Khuldun adalah ashabiyyah. Tanpanya, visi dan misi adalah pepesan kosong belaka.
Banyak Berderma daripada Berfoya-foya
Nilai penting ekonomi Islam adalah kesederhanaan dalam konsumsi, tidak kikir apatah lagi berlebihan atau berfoya-foya.
Dengan adanya pandemi yang berpotensi untuk mendatangkan resesi ekonomi, hal ini semoga tidak terjadi. Maka penting untuk menjaga pola konsumsi, dan me-reset ulang ceklist kebutuhan yang selama ini telah di rencanakan. Jangan-jangan kebutuhan yang dimaksud hanyalah keinginan saja?, yang bukan dalam kategori essential goods yang diperlukan untuk bertahan hidup.
Pola konsumsi berfoya-foya dan bermegah-megah perlu di bendung, agat terhindari dari mala petaka di masa-masa sekarang ini. Gagal dalam mengatur diri, menyebabkan kita terjerembab dalam lembah kesengsaraan dan kemiskinan. Padahal kemiskinan adalah “sokoguru” segala keburukan dan kejahatan.
Selain menahan konsumsi, penting untuk berderma kepada mereka yang kurang beruntung. Sebab dengan berderma, hati akan menjadi tenan. Sebab hati kecenderungannya adalah memberi. Kata Ibnu Sina, salah seorang filosof cum ahli kesehatan menyatakan, ketenangan adalah setengah obat. Maka dengan rasa tenang dalam hati, sebenarnya kita telah berobat.
Kata Sahabat Ali, berderma adalah pencegah musibah, penghindar pancaroba. Sekaligus ia adalah bukti dari kesalehan diri, sebagaimana sabda nabi.
Banyak Diam daripada Mendendam
Diantara respon alamiah dari diri ketika menghadapi perubahan adalah kaget (shock), marah (anger) dan tidak berterima (denial). Hal inilah yang dikemukakan oleh Kubler-Ross dalam teorinya emotional responseto change (1980).
Maka wajar jika hingga kini, bahkan di awal-awal masa pandemi beberapa bulan lalu, beragam ekspresi kaget, marah dan tidak berterima terhadap pandemi nampak di depan mata via berbagai media.
Namun satu hal yang penting untuk dicermati, bahwa siapapun tidak menginginkan pandemi ini datang, dan siapapun tidak mampu untuk menolak kedatangnya.
Maka sebagaimana pepatah bijak mengatakan bahwa diam adalah emas. Diam, sembari terus berfikir untuk mencari solusi lebih baik daripada mendendam.
Alih-alih menyelesaikan masalah, mendendam justru menambah masalah sekaligus menjadikan masalah tambah runyam.
Masing-masing dari kita, baik sebagai pejabat, pemuka agama, pengusaha, pendidik hingga masyarakat harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan peran masing-masing.
Setiap kita adalah pemimpin, dan setiap kita harus bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukan dalam kepemimpinan itu, bahkan jika kita hanya memimpin diri kita sendiri. Begitulah sabda Nabi.
Maka dari itu, menggunakan masker, jaga jarak dan menghindari kerumunan bukan hanya persoalan receh individu untuk diri sendiri, namun juga bagian dari tugas pemimpin untuk bertanggungjawab terhadap kesehatan yang dikarunikan Allah kepada masing-masing diri.
Bukankah tidak menjaga kesehatan bermakna abai terhadap nikmat ilahi?. So please, jangan “bunuh diri” dengan “tangan sendiri”.
Penulis: Dr. Rahmad Hakim, M.MA
Sekretaris Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, UMM