Peringatan Hari Pers Nasional yang ditetapkan pemerintah pada tanggal 9 Februari 2021 memberi catatan kelam industri media massa tanah air. Pandemi covid-19 yang berlarut-larut telah menumbangkan satu per satu perusahaan media tanah air.
Posko pengaduan ketenagakerjaan yang dibuka Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan LBH Pers hingga 28 Juli 2020 telah menerima 110 pengaduan persoalan ketenagakerjaan. Jenis persoalan yang diadukan adalah penundaan upah, pemotongan upah, dirumahkan dengan pemotongan upah, PHK dengan pesangon, dan PHK tanpa pesangon. Ini terjadi di semua platform perusahaan media, yakni media cetak, daring, televisi, dan radio.
Krisis keuangan ini tak hanya membekap perusahaan media kecil, tetapi juga perusahaan besar. Jakarta Post, Kumparan, Tempo, dan Jawa Pos adalah sederet perusahaan media besar yang tak mampu membendung krisis keuangan. Keterpurakan mereka memperpanjang daftar media yang melakukan PHK massal sebelumnya, seperti Pikiran Rakyat, Femina, dan majalah lain yang terpaksa tutup.
Majelis Etik AJI Indonesia yang juga Pemimpin Redaksi Kediripedia.com Dwidjo Utomo Maksum mengatakan pandemi covid-19 telah menimbulkan pergeseran wajah pers tanah air. Pengurangan karyawan hingga penutupan usaha menjadi pilihan yang tak bisa ditawar pemilik usaha media.
Dalam situasi seperti ini, media dituntut mengubah strategi usaha agar bisa memperpanjang nafas di tengah pandemi. Kepada Bacaini.id, Dwidjo Utomo Maksum (DUM) menyampaikan pandangannya tentang kondisi pers tanah air kekinian. Berikut wawancaranya:
Bacaini:
Wartawan di Indonesia akan memperingati Hari Pers Nasional. Ada catatan soal ini?
DUM:
Saya mengucapkan selamat kepada kawan-kawan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang akan merayakan hari lahir organisasinya besok. Tanggal 9 Februari adalah peringatan lahirnya PWI.
Bacaini:
Banyak yang menyebut peringatan Hari Pers Nasional tahun ini sebagai tahun kelam. Anda setuju?
DUM:
Pandemi Covid-19 ini memang telah menggeser wajah pers tanah air. Indikasinya adalah besarnya gelombang PHK di semua sektor. Tak hanya media.
Bacaini:
Apa yang bisa dilakukan media untuk bertahan?
DUM:
Pelaku media harus berpikir bahwa ada proses yang berbeda. Perlu riset tentang ini, terutama tingkat keterbacaan karya tulis mereka. Ukurannya bukan sekedar viewer.
Bacaini:
Bagaimana hasil riset itu?
DUM:
Kami sudah melakukan riset dengan teman-teman Kediripedia, hasilnya cukup mengejutkan. Terjadi penurunan pembaca sangat tajam di seluruh media. Orang tak lagi rindu pada kabar.
Bacaini:
Apa yang pembaca butuhkan?
DUM:
Ada beberapa platform yang tak bisa dihindari, yang lebih muncul dan lebih dirindukan. Kredo we media, sebuah konteks di mana satu paltform dipakai beramai-ramai, seperti YouTube. Tengok saja bagaimana perusahaan media raksasa memakai itu.
Bacaini:
Apakah platform itu akan membunuh media massa?
DUM:
Tentu prosesnya tidak akan secepat itu, meski senjakala ini tak bisa dihindari. Dulu media cetak tumbang, kini (ancaman itu) bergeser pada platform media yang lain.
Bacaini:
Apakah media harus berkiblat pada medsos?
DUM:
Pandemi ini menjadi penguji baru tentang apa yang disukai pembaca. Saya mengajak para pengelola media untuk mengenali kembali receiver kita, yakni publik. Bekerja secara kolaboratif menjadi salah satu jalan keluar bagi pelaku media. Kreativitas perlu dilakukan.
Bacaini:
Anggap saja urusan content sudah selesai. Bagaimana dengan bisnisnya, di mana terjadi kecenderungan media merapat pada kekuasaan agar bertahan?
DUM:
Saya tidak tahu berapa persen APBD bisa menyangga kebutuhan operasional media di daerah. Tentu saja akan berkurang drastis di masa pandemi ini. Artinya, tidak ada yang bisa menjamin kelangsungan media jika menggantungkan sepenuhnya pendapatan pada negara. Harus kreatif membangun pintu lain. Jika tidak, kita akan kembali ke zaman bahula, di mana hidup matinya media ditentukan negara.
Bacaini:
Belakangan peran media tergeser oleh media sosial. Termasuk pejabat publik yang cenderung memanfaatkan mereka sebagai influencer. Pendapat Anda?
DUM:
Ini grey area, siapapun boleh memakai medsos, bagaimana kehidupan pribadi pejabat menjadi content pengikat publik. Tetapi ada batasan dimana mereka tak boleh memanfaatkan uang negara untuk pencitraan pribadi. Misalnya pejabat A memanfaatkan kamera dan staf pemerintah untuk merekam kegiatannya bersepeda, dan mengunggahnya di media sosial. Ada pendangkalan dari sikap ini. Penggunaan media sosial dan media mainstream oleh pejabat harus terikat regulasi.
Bacaini:
Bagaimana membangun kembali independensi media?
DUM:
Memahami kembali media sampai pada pengertian Tirto Adi Soerjo, Rosihan Anwar, PWI di era orde baru, hingga pengertian media massa paska reformasi. Dari sana media akan menemukan kembali ruhnya, dan mencari jalan keluar atas krisis yang dihadapi.
Penulis: Hari Tri Wasono