Bacaini.ID, KEDIRI – Upaya penegakan hukum di Indonesia masih menjadi persoalan besar. Hal ini menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menjaga kewibawaan negara, mencegah kebocoran keuangan negara dan pemerintah yang bersih dari KKN.
Berikut catatan beberapa kasus hukum yang menjadi perhatian publik dan menampar nilai keadilan masyarakat:
Kasus Suap Bank Indonesia dan OJK
Kasus penggelapan perusahaan asuransi yang penuh kontroversi seperti ASABRI, BUMIPUTERA dan JIWASRAYA menjadi catatan buruk bagi peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merugikan puluhan triliun rupiah.
Transparansi informasi pendapatan dan pengelolaan dana pungutan OJK dari lembaga keuangan, perbankan maupun non-perbankan yang setiap tahun nilainya triliunan rupiah menjadi pertanyaan besar hingga sekarang. Ditambah kasus Asuransi Kresna yang tiba-tiba pailit dan tidak ada keharusan membayar kepada konsumen, membuat kepercayaan publik kepada lembaga ini terjun bebas.
Tak hanya OJK, Bank Indonesia sebagai bank sentral turut disorot terkait transparansi pengelolaan pendapatan biaya transaksi yang dibayarkan masyarakat dari biaya administasi tabungan, biaya Sistem Kliring Nasional (SKN), biaya Real Time Gross Settlement milik Bank Indonesia, yaitu sistem transfer elektronik yang menghubungkan bank-bank RTGS, biaya transfer antar bank, transfer online, serta biaya QRIS yang mencapai ratusan triliun tiap tahun.
Transparansi penerimaan dan pengelolaan Dana Hasil Devisa Ekspor (HPE) dari sumber daya alam seperti pajak ekspor pertambangan batubara, timah, nikel, dan emas yang mencapai ratusan triliun setiap tahun juga menjadi catatan lembaga keuangan di Tahun 2024. Termasuk transparansi pengelolaan dan pendistribusian dana CSR sampai kemudian KPK melakukan penggeledahan di Bank Indonesia dan OJK. Serta pengakuan anggota DPR RI dari Partai Nasdem Satori saat diperiksa KPK, bahwa penerima dana CSR bukan peruntukannya dari Bank Indonesia diterima semua oleh Anggota DPR RI Komisi XI.
Bank Indonesia selaku institusi yang mendapat mandat penerimaan dan pengelola Devisa Hasil Eskpor (DHE) dari sumber daya alam dan kelapa sawit juga ditemukan fakta yang mengejutkan bahwa terdapat beberapa perusahaan sawit yang tidak membayar DHE ke negara sebanyak Rp 300 triliun.
Kasus Suap Bea Cukai dan Kantor Pajak
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Askolani yang diperiksa sebagai saksi oleh KPK atas kasus suap dan gratifikasi dengan tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang, mantan Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari mencoreng lembaga ini. Pemeriksaan ini sekaligus membuka modus operandi para pengusaha tambang agar membayar bea ekspor hasil pertambangan dengan memanipulasi dokumen ekspor dengan menurunkan kadar GAR batubara tidak sesuai aslinya. Penurunan tersebut dimaksudkan untuk menekan bea ekspor yang berdampak merugikan pendapatan negara. Kasus suap dan gratifikasi juga menimpa pejabat Bea Cukai seperti Eko Darmanto (Bea Cukai DI Yogyakarta), Ronny Risyandi (Bea Cukai Riau), Rahmady Effendi (Bea Cukai Purwakarta). Kasus korupsi pajak oleh Rafael Alun kasus suap Rp 16 milliar dan TPPU Rp 58 milliar.
Selain itu, transparansi pendapatan cukai rokok yang nilainya mencapai ratusan triliunan rupiah turut menjadi sorotan lembaga ini. Untuk menekan kebocoran dan manipulasi, muncul usulan agar cukai rokok diberikan nomor seperti kertas materai. Dan laporan resmi penerimaan pendapatan cukai harus lebih transparan dari bea cukai dan perusahaan rokok itu sendiri. Maraknya cukai palsu, tidak memberikan kodefikasi khsuus pada semua jenis pita cukai rokok juga menjadi pertanyaan besar atas transparansi pendapatan cukai hasil tembakau ini.
Penegakan Hukum oleh Polri
Sejumlah peristiwa di Tahun2024 memberi kesan buruk yang mencoreng lembaga Polri. Salah satu yang menyita perhatian masyarakat adalah beberapa kasus penembakan yang menelan korban tidak bersalah, baik dari masyarakat maupun sesama anggota Polri.
Paling baru, pemerasan oleh oknum polisi terhadap warga negara Malaysia yang viral di dunia internasional turut menampar citra Polri. Apalagi hal ini melibatkan banyak anggota kepolisian dari pangkat rendah hingga pati dengan korban materi cukup besar. Uang hasil pemerasan terkumpul Rp 2,5 milliar rupiah.
Laporan Polri yang mengumumkan pendapatan pengelolaan SIM (Surat Ijin Mengemudi) hanya sebesar Rp 1 Triliun menjadi pertanyaan besar. Nilai itu dianggap terlalu kecil atau sepertiga dari pendapatan asli yang diterima para calo SIM yang hampir 3-4 lipat dari tarif resmi.
Transparansi penyidikan kasus judi online yang melibatkan pegawai Komdigi dan melibatkan anak serta sepupu tokoh nasional masih ditunggu masyarakat. Sebab perbuatan mereka telah menjadi salah satu penyebab meningkatnya kemiskinan di Indonesia.
Penegakan Hukum oleh Kejaksaan
Beberapa kasus yang menjadi sorotan di lembaga ini adalah proyek pengadaan di Kejaksaan yang nilainya triliunan rupiah, rendahnya tuntutan terhadap Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah dan nikel, serta penggunaan jam tangan mewah oleh pejabat kejaksaan. Kejaksaan Agung juga tidak berani menetapkan tersangka Robert Bonosusatya, yang menjadi bos dari kasus korupsi timah Rp 300 triliun, Harvey Moeis dan Helena Lim.
Penegakan Hukum oleh KPK
Pernyataan komisioner KPK Johanis Tanak yang ingin menghilangkan operasi tangkap tangan mengundang reaksi keras berbagai pihak. Hal ini dianggap memberi peluang pelaku korupsi merajalela.
Di luar itu masih ada beberapa perkara korupsi yang dihentikan (SP3) ataupun kalah di praperadilan dalam upaya penetapan tersangka. Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej saat ini merupakan Wakil Menteri Hukum di kabinet pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kekalahan KPK pada sidang praperadilan Sahbirin Noor atau Paman Birin adalah Gubernur Kalimantan Selatan.
Penegakan Hukum oleh Pengadilan
Kasus suap hakim atas perkara Ronald Tannur, yang membongkar duit suap di rumah Hakim Zarof Ricar dengan nilai Rp 1 Triliun dalam bentuk cash membuka aib para pemutus perkara di Indonesia. Termasuk vonis Harvey Moeis 6 tahun penjara dan Helena Lim 5 tahun penjara dan denda ringan meski merugikan negara Rp 300 Triliun dan merusak lingkungan.
Kasus suap hakim agung Gazalba Saleh Rp 37 milliar dan TPPU sebesar Rp 63 milliar. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengabulkan eksepsi atau nota keberatan Gazalba Saleh. Majelis Hakim menilai, jaksa KPK tidak memiliki kewenangan menuntut Gazalba. Sebab, Direktur Penuntutan (Dirtut) KPK tidak mendapatkan delegasi penuntutan dari Jaksa Agung. Hakim juga menyebut surat perintah Jaksa Agung tentang penugasan jaksa untuk melaksanakan tugas di lingkungan KPK dalam jabatan Direktur Penuntutan pada Sekretaris Jenderal KPK tidak definitif.
Editor: Hari Tri Wasono
Disclaimer: Artikel ini ditulis dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Hubungi redaksi Bacaini.ID jika ada yang perlu dikoreksi untuk penyempurnaan tulisan kami.