Bacaini.id, BLITAR – Sudah sejak dulu pesona tubuh perempuan Jawa memiliki daya pikat tersendiri bagi laki-laki Eropa. Eksotisme Asia, yakni khususnya Jawa adalah sesuatu yang bisa menggerakkan.
Bukan hanya hasrat seksual tapi juga semangat yang lain. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menyadari pesona itu dan mulai merancang upaya kapitalisasi atas tubuh wanita Jawa.
Pada tahun 1887, dipakailah eksotisme pesona tubuh wanita Jawa sebagai alat rekrutmen tentara bayaran di negeri jajahan, yakni khususnya Indonesia. Apa yang dilakukan?
Sejumlah wanita Jawa dipotret dalam keadaan bugil atau telanjang. Bak foto model porno. Perempuan-perempuan Jawa itu diarahkan dengan gaya seerotis mungkin.
Foto hasil jepretan itu kemudian diedarkan di kalangan pemuda Belanda. Dengan menyaksikan foto toples itu hasrat mereka diharapkan menyala sekaligus bersedia menjadi prajurit cadangan di Hindia Belanda.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda diam-diam telah menyelundupkan motivasi seksual di tengah kebutuhan tentara cadangan.
“Tentu saja gambar-gambar itu mendapat sambutan antusias, termasuk salah seorang pemuda, Alexander Cohen yang tertarik menjadi tentara cadangan di Hindia Belanda,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Status tentara yang didatangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda diketahui sebagai tentara bayaran atau sewaan. Sebagian besar terdiri dari orang-orang Perancis, Jerman, Belgia dan Swiss.
Sejumlah sumber sejarah menyebut, pemakaian tentara bayaran itu lantaran undang-undang Kerajaan Belanda melarang menggunakan tentara hasil wajib militer di negeri jajahan.
Sementara pemuda Alexander Cohen yang melihat foto-foto kemolekan tubuh telanjang wanita Jawa, langsung bergegas. Setiba di Hindia Belanda Cohen langsung mendaftar sebagai tentara.
Apa yang terjadi kemudian? Keindahan tubuh telanjang yang Cohen lihat dan bayangkan, ternyata tidak sesuai dengan kenyataan surga dunia yang ditawarkan.
Ia kecewa. Cohen yang kelak tercatat sebagai prajurit pemberontak dan dijebloskan ke dalam penjara militer Hindia Belanda merasa tertipu janji surga pemerintah kolonial.
Ia menjumpai fakta yang berbeda. Potret telanjang wanita pribumi Jawa yang menuntunnya mendatangi Hindia Belanda ternyata tidak sama dengan yang ditemuinya.
“Gambar-gambar perempuan pribumi telanjang itu hanya rekayasa para juru potret,” tulisnya dalam sebuah surat.
Kenyataanya, potret perempuan Jawa bugil atau setengah telanjang itu dibuat di studio. Gaya erotis yang vulgar hanyalah hasil mengikuti arahan fotografer. Gaya itu memang sengaja dibuat untuk menarik minat lelaki yang gampang horny.
Kenyataan lain yang membuat Cohen lebih kaget lagi adalah status perempuan Jawa yang dipakai model telanjang itu. Mereka adalah para pelacur. Ia mengungkapkan rasa kaget itu dalam suratnya.
Pendapat Cohen soal perempuan pelacur yang dipakai model foto telanjang itu disetujui oleh Rob Nieuwenhuys. “Yang mengecam beberapa oknum pemerintah kolonial yang menggunakan koleksi foto-foto telanjang itu dengan dalih rubrik volkstypen (tipe penduduk)”.
Namun ironisnya, potret perempuan Jawa toples atau setengah telanjang itu ternyata laku keras di Eropa. Tidak hanya sekedar laku. Foto-foto bugil wanita Jawa itu juga menghasilkan banyak uang.
Penulis: Solichan Arif