Bacaini.id, KEDIRI – Vending machine atau mesin penjual otomatis di Jepang lazim dipakai untuk melayani penjualan berbagai jenis barang.
Mesin penjual otomatis itu banyak bertebaran di berbagai sudut kota di seluruh Jepang, tidak terkecuali di resto-restonya, termasuk restoran atau kedai ramen, mie khas Jepang yang terbuat dari gandum.
Customer membayar lewat vending machine untuk kemudian mendapat struk pemesanan yang disetorkan kepada juru masak di konter. Setelah itu tinggal menunggu pesanan siap disantap. Proses ini hanya butuh waktu beberapa menit.
Penggunaan vending machine sudah mengakar di resto-resto ramen Jepang selama beberapa dekade. Resto ramen jadi populer lantaran sesuai dengan kondisi sosiologis masyakat Jepang yang suka kecepatan, dan tentu saja harga murah.
Tingginya biaya hidup membuat masyarakat Jepang terbiasa berhemat. Ramen hadir pada saat pertumbuhan ekonomi Jepang melaju pesat di tahun 80’an yang diiringi mobilitas masyarakat yang tinggi.
Ramen selain murah penyajiannya juga cepat. Ramen jadi makanan favorit kelas pekerja di Jepang lantaran murah, cepat, bergizi dan mengenyangkan.
Kebijakan pemerintah Jepang mengeluarkan mata uang baru ternyata membawa dampak signifikan pada keberlangsungan bisnis resto dan kedai ramen.
Setiap 20 tahun sekali pemerintah Jepang diketahui mengganti serangkaian mata uang baru untuk menghindari pemalsuan uang. Hal itu berdampak pada penggunaan vending machine.
Adanya uang baru membuat vending machine sulit mendeteksi jenis uang yang masuk dan imbasnya mesin penjual otomatis itu pada mangkrak.
Sebenarnya pemberlakuan uang baru masih belum sepenuhnya dijalankan, namun masa depan vending machine para penjual ramen sudah dapat diprediksi, mangkrak.
Mesin tersebut sudah terlalu tua untuk menerima desain koin terkini dan tidak mampu lagi menerima uang kertas baru.
Walaupun tidak ada masalah dengan pengoperasian mesin penjual otomatis, namun membeli unit baru vending machine membuat para pengusaha resto dan kedai ramen merasa frustrasi.
Harga ramen yang murah tidak sebanding dengan harga mesin penjual otomatis yang kompatibel dengan uang baru, yang sangat mahal. Di seluruh Jepang, restoran, kafetaria, pemandian, dan bisnis lainnya menghadapi masalah serupa.
Jepang memiliki 4,1 juta mesin penjual otomatis, menurut Nikkei Compass, database laporan industri. Banyak di antaranya sudah ketinggalan zaman karena uang kertas 1.000, 5.000, dan 10.000 yen baru yang menampilkan teknologi hologram telah diluncurkan.
Di Jepang, di mana jumlah tenaga kerja menyusut, kehadiran mesin untuk mengurangi kebutuhan akan kasir dan server. Resto dan kedai ramen adalah salah satu bisnis yang paling bergantung pada mesin penjual otomatis ini.
Mie adalah makanan pokok di kalangan pekerja konstruksi, pabrik, pegawai, dan pelajar yang mencari makanan murah. Banyak kedai ramen yang tersebar di sekitar stasiun kereta api, melayani para komuter.
Setiap porsi ramen dihargai kurang dari 1000 yen sementara vending machine harganya mencapai 2 juta yen. Rata-rata resto atau kedai ramen menjual sekitar 100 porsi ramen per hari. Membeli mesin baru dengan harga jutaan tentu berat buat pengusaha ramen.
Untuk membiayai peremajaan atau penggantian mesin penjual otomatis, beberapa pemerintah kota menawarkan subsidi, namun sebagian besar biaya ditanggung oleh pemilik resto.
Uang kertas baru ini meningkatkan tekanan terhadap usaha kecil di Jepang. Baru-baru ini, inflasi meningkat pesat setelah sebelumnya stabil selama bertahun-tahun, dan negara ini tergelincir ke dalam resesi.
Meningkatnya harga tepung dan listrik telah menambah beban pengeluaran bagi resto dan kedai ramen pada khususnya. Analis di Tokyo Shoko Research mengatakan, 45 restoran ramen di seluruh negeri telah mengajukan kebangkrutan tahun lalu, jumlah tertinggi sejak 2009.
Lantaran pelanggan tak terbiasa dengan kenaikan harga, para pelaku usaha kesulitan menaikkan harga ramen mereka. Di kalangan koki ramen, batasan semangkuk ramen yang bisa diterima secara luas adalah senilai 1000 yen yang dikenal dengan sebutan “dinding 1.000 yen”. Lebih dari itu dianggap tabu.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif